TEMPO.CO, Jakarta – Direktur Lembaga Bantuan Hukum Indonesia atau YLBHI Muhammad Isnur menanggapi penyegelan masjid Ahmadiyah yang terjadi di Kampung Nyalindung, Kabupaten Garut, Jawa Barat baru-baru ini. Penutupan rumah ibadah itu dilakukan oleh tim gabungan yang terdiri dari instansi pemerintah dan nonpemerintah pada Selasa, 2 Juli lalu.
Penyegelan masjid dilaksanakan oleh Satpol PP yang didampingi Tim Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat (Pakem). Tim tersebut terdiri dari Polres, Kejaksaan Negeri, Majelis Ulama Indonesia, Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Bakesbangpol Garut.
Isnur mengatakan dirinya sangat menyesalkan penyegelan masjid tersebut. Dia menyatakan sangat kecewa melihat intoleransi dan diskriminasi atas nama agama.
Menurut Isnur, situasi tersebut masih terus terjadi di 10 tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo alias Jokowi, bahkan hingga melibatkan pemerintah. “Oleh karena itu kami mendesak pemerintah, Presiden, KSP (Kantor Staf Presiden), Menteri Dalam Negeri, Kementerian Agama untuk segera turun tangan, mengatasi dan mencegah terjadinya peristiwa kekerasan dan pelanggaran hak beragama di manapun berada,” kata Isnur melalui keterangan tertulis pada Sabtu, 6 Juli 2024.
YLBHI menilai Presiden Jokowi seharusnya lebih serius menghentikan praktik-praktik diskriminatif di penghujung pemerintahannya yang terus meningkat, termasuk dengan memerintahkan bawahannya mencabut segel masjid Ahmadiyah. Sebab, kata Isnur, urusan agama adalah sepenuhnya kewenangan pemerintah pusat sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Menurut YLBHI, tindakan penutupan masjid Ahmadiyah itu merupakan pelanggaran hak yang sudah dijamin konstitusi. “Ini pelanggaran atas kebebasan setiap warga negara untuk berkeyakinan dan menjalankan ibadah sebagaimana diatur dalam UUD 1945 Pasal 28E ayat 1 dan Pasal 29 ayat 2,” ucap Isnur.
Isnur berujar situasi politik tahun ini juga cenderung meningkatkan pelanggaran hak beragama, khususnya dengan adanya Pemilu dan Pilkada. “Sekarang meningkat seiring juga mau terlaksananya Pilkada di 2024,” kata dia.
Isnur kemudian menyampaikan bahwa masyarakat sipil harus bergerak bersama dan angkat bicara soal pelanggaran hak beragama di tanah air. Khususnya agar intoleransi dan diskriminasi tidak terus terjadi dan korban tidak dibiarkan sendiri.
Berkaitan dengan penyegelan masjid jemaah Ahmadiyah itu, Kepala Seksi Intelijen Kejaksaan Negeri Garut Jaya P. Sitompul mengatakan pihaknya tidak melanggar aturan. "Tindakan kami sudah sesuai ketentuan hukum yang berlaku," kata dia pada Sabtu, 6 Juli 2024.
Menurut Jaya, masjid yang disegel itu melanggar Pasal 14 juncto pasal 23 Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006, tentang kerukunan umat beragama, pemberdayaan forum kerukunan umat beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat. Alasannya karena syarat pendirian mesjid tidak memenuhi ketentuan.
Jaya menyebut kegiatan Ahmadiyah dinilai melanggar Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2008, Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 12 Tahun 2011, tentang Larangan Kegiatan Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Jawa Barat dan Fatwa MUI.
Pilihan Editor: Masjid Ahmadiyah di Garut Disegel Pemerintah Tanpa Proses Dialog