TEMPO.CO, Jakarta - Putusan Mahkamah Agung (MA) yang memperluas tafsir syarat usia calon kepala daerah dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 9 Tahun 2020 menuai kritik dari pakar dan sejumlah pengamat politik.
Dalam putusan MA Nomor 23 P/HUM/2024 menyebutkan, batas usia 30 tahun untuk calon gubernur dan 25 tahun untuk calon bupati atau wali kota diubah menjadi berlaku saat pelantikan kepala daerah terpilih. Sebelumnya, ketentuan itu berlaku ketika penetapan bakal calon menjadi calon kepala daerah.
Lantas, apa kritik dari pakar dan sejumlah pengamat politik terkait hal itu? Berikut pernyataan mereka seperti dirangkum dari Tempo.
Perludem: MA telah gagal tafsir
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi atau Perludem Khoirunnisa Nur Agustyati alias Ninis mengatakan, putusan MA itu mirip dengan perubahan batas usia calon presiden yang dilakukan Mahkamah Konstitusi (MK) menjelang pemilihan presiden dan wakil presiden atau Pilpres 2024 lalu.
MK ketika itu mengubah aturan batas usia calon presiden dan wakil presiden minimal 40 tahun dengan menambahkan kalimat “atau pernah menduduki jabatan yang dipilih melalui Pemilu atau Pilkada”.
“Usaha yang dilakukan Partai Garuda memiliki kemiripan dan cenderung sama dengan apa yang pernah dilakukan dalam pengujian syarat usia calon presiden dan calon wakil presiden,” kata Ninis dalam keterangan tertulis pada Kamis, 30 Mei 2024.
Kemiripan itu, kata Ninis, salah satunya terlihat dari adanya pihak yang diuntungkan dari perubahan batas usia.
“Pengujian ini mencoba ‘mengotak-atik’ dan mencari celah peraturan perundang-undangan terkait Pemilu/Pilkada untuk kebutuhan kelompok tertentu,” ucap Ninis.
Diketahui, putusan MK sebelum Pilpres 2024 lalu memberikan jalan bagi putra sulung Presiden Joko Widodo atau Jokowi, yaitu Gibran Rakabuming Raka, untuk menjadi calon wakil presiden pendamping Prabowo Subianto.
Kali ini, putusan MA dinilai bisa membuka peluang untuk Kaesang Pangarep, putra bungsu Jokowi, untuk maju Pilkada 2024 sebagai calon gubernur atau wakil gubernur.
Selain itu, Perludem menilai MA telah mencampuradukkan syarat calon untuk menjadi kepala daerah dengan syarat pelantikan calon kepala daerah.
“MA telah gagal dalam menafsirkan ketentuan yang mengatur syarat calon, bukannya syarat pelantikan calon terpilih,” ujar Ninis.
Ninis mengatakan kedua terma tersebut merupakan situasi yang memiliki akibat hukum berbeda dan tidak bisa dicampuradukkan. Apalagi, Nini berujar, UU Pilkada tidak mengenal adanya persyaratan pelantikan bagi calon terpilih setelah penetapan hasil oleh KPU.
“Sebab status calon terpilih hanya didapatkan oleh calon kepala daerah yang mendapatkan suara terbanyak setelah proses pemungutan suara, dan sudah ditetapkan KPU menjadi calon terpilih,” kata dia.