TEMPO.CO, Jakarta - Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menolak kebijakan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2024 yang mengubah Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 202 terkait dengan Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat atau Tapera.
Ketua Umum Apindo, Shinta Kamdani mengatakan telah menolak Tapera sejak delapan tahun lalu. Seperti diketahui, Tapera diatur dalam UU Nomor 4 Tahun 2016 mengenai Tabungan Perumahan Rakyat. "Sejak munculnya UU No. 4 Tahun 2016 tentang ‘Tabungan Perumahan Rakyat’ Apindo dengan tegas telah menolak diberlakukannya UU tersebut,” ujarnya dalam keterangan resmi di Jakarta, dilansir dari Antara, Selasa, 28 Mei 2024.
Program Tapera menurut Shinta akan memberatkan beban iuran di kedua pihak yaitu pelaku usaha dan juga pekerja atau buruh. Apindo juga sudah melakukan diskusi, koordinasi, bahkan mengirimkan surat kepada Presiden untuk mempertimbangkan Tapera.
Shinta sebagai bagian dari Apindo yang juga mendukung kesejahteraan perumahan bagi pekerja menganggap PP tersebut meniru atau menduplikasi program sebelumnya, yaitu Layanan Tambahan (MLT) perumahan pekerja bagi peserta program Jaminan Hari Tua (JHT) BP Jamsostek.
"Tambahan beban bagi pekerja 2,5 persen dan pemberi kerja 0,5 persen dari gaji yang tidak diperlukan karena bisa memanfaatkan sumber pendanaan dari dana BPJS Ketenagakerjaan," jelasnya.
Dari sudut pandang Apindo, pemerintah seharusnya mengoptimalkan dana BPJS Ketenagakerjaan saja. Hal ini sesuai dengan PP maksimal 30 persen atau Rp138 triliun maka dana sebesar 460 Triliun sebagai aset JHT dapat berguna untuk program MLT perumahan pekerja.
Tapera sendiri justru menambah beban bagi para pemberi kerja dan pekerja sebab menambah beban pungutan yang ditanggung oleh pemberi kerja sebesar 18,24-19,74 persen dari penghasilan pekerja dengan rincian, yakni Jaminan Sosial Ketenagakerjaan, yakni Jaminan Hari Tua 3,7 persen; Jaminan Kematian 0,3 persen; Jaminan Kecelakaan Kerja 0,24-1,74 persen; dan Jaminan Pensiun 2 persen.
Tidak hanya itu, pemberi kerja juga harus menanggung Jaminan Sosial Kesehatan sebesar 4 persen dan Cadangan Pesangon sesuai dengan PSAK (Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan) sekitar 8 persen. Menurut Shinta hal ini semakin buruk karena adanya depresiasi rupiah dan lemahnya permintaan pasar.
"Beban ini semakin berat dengan adanya depresiasi rupiah dan melemahnya permintaan pasar," ujar Shinta.
Menurut Anggota Komisi V DPR RI sekaligus legislator dari fraksi Partai Keadilan Sejahtera atau PKS, Suryadi Jaya Purnama, dampak lain yang sepertinya terlupakan adalah tidak memperhatikan Gen Z khususnya yang kelas menengah yang seharusnya dapat menjadi penggerak utama pembangunan Jangka Panjang.
Ia juga menyebutkan bahwa aturan tersebut akan membebani kelas menengah yang penghasilannya melebihi kriteria Masyarakat Berpenghasilan Rendah atau MBR tetapi pas-pasan untuk membeli rumah non subsidi.
Impian mereka untuk punya rumah sendiri akan menjadi semakin sulit terwujud karena penghasilannya tak pernah cukup untuk mencicil KPR. Dan tidak mungkin harus menunggu lama pensiun atau berusia 58 tahun baru dapat membeli rumah," ujar Anggota DPR RI dari daerah pemilihan Nusa Tenggara Barat I ini.
PP Nomor 25 Tahun 2020 sebelumnya menyebutkan beberapa kriteria yang harus dipenuhi para pekerja untuk mendapatkan Tapera. “Dalam aturan PP No. 25/2020 (tidak direvisi) disebutkan bagi Peserta non-MBR, maka uang pengembalian simpanan dan hasil pemupukannya dapat diambil setelah kepesertaan Tapera-nya berakhir, yaitu karena telah pensiun, telah mencapai usia 58 tahun bagi Pekerja Mandiri; meninggal dunia; atau tidak memenuhi lagi kriteria sebagai peserta selama 5 tahun berturut-turut," kata Suryadi lewat keterangan tertulis, Selasa, 28 Mei 2024.
ADINDA ALYA IZDIHAR | EKA YUDHA SAPUTRA | ANTARA
Pilihan Editor: Berikut Syarat Agar Uang Tapera Masyarakat Bisa Dicairkan