TEMPO.CO, Jakarta - Menjelang pembacaan putusan MK Sengketa Pilpres 2024 yang tinggal 2 hari, Mahkamah Konstitusi sudah dibanjiri surat pengajuan amicus curiae dari berbagai kalangan masyarakat sipil, aktivis, akademisi, pimpinan partai politik hingga tokoh-tokoh agama.
Penerapan amicus curiae di Indonesia menuai polemik dan belakangan menyebabkan timbulnya pro-kontra. Di satu sisi, amicus curiae disebut sebagai bentuk kepedulian terhadap peradilan. Di sisi lain dinilai berpotensi menimbulkan intervensi terhadap berjalannya proses hukum.
Dalam perundang-undangan kehakiman di Indonesia, peradilan harus mandiri dalam artian merdeka mengambil keputusan. Bahkan intervensi terhadap peradilan bakal diganjar pidana. Namun, peradilan juga kudu membuka diri terhadap sudut pandang hukum pihak luar.
Massa aksi pendukung Prabowo-Gibran tetap melakukan aksi demonstrasi di kawasan Patung Kuda, Jakarta Pusat, Jumat, 19 April 2024. Mereka menuntut Mahkamah Konstitusi (MK) menolak sepenuhnya permohonan yang diajukan oleh kubu 01 dan 03. Mereka berharap MK bisa membuat keputusan tanpa intervensi dari berbagai pihak. TEMPO/Subekti.
“Pengadilan perlu membuka diri atas berbagai pandangan dan pendapat hukum dari masyarakat, meskipun kewenangan putusan sepenuhnya ditangan hakim. Dengan adanya para Sahabat Pengadilan justru akan menambah bobot keyakinan hakim saat mengambil keputusan untuk kepentingan bangsa dan negara,” ujar Wakil Ketua MPR, Ahmad Basarah.
Kedudukan Amicus Curiae dalam Hukum di Indonesia
Dinukil dari publikasi Penerapan Amicus Curiae Dalam Pemeriksaan Perkara di Pengadilan Negeri Tangerang oleh Rizal Hussein Abdul Malik dkk, amicus curiae merupakan konsep hukum yang memungkinkan pihak ketiga, yaitu mereka yang merasa berkepentingan terhadap suatu perkara, memberikan pendapat hukumnya kepada pengadilan di mana hanya sebatas memberikan opini, bukan melakukan perlawanan.
Mahkamah Agung atau MA memang tidak memiliki aturan tentang amicus curiae, namun konsep sahabat peradilan ini dapat diterima sebagaimana ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Kedudukan hukum amicus curiae dalam ranah hukum Indonesia belum mempunyai aturan yang khusus. Ketentuan pada Pasal 5 tersebut selain menjadi suatu dasar diterapkannya konsep amicus curiae, Pasal tersebut juga memberikan kewajiban kepada hakim untuk memberikan rasa keadilan pada masyarakat.
“Amicus curiae bisa digunakan sebagai tambahan informasi untuk memenuhi asas social justice sepanjang amicus curiae tersebut erat kaitannya dalam perkara tersebut untuk mewujudkan keadilan,” kata Hakim Pengadilan Negeri Tangerang Gatot Sarwadi dalam wawancara penelitian.
Selain diakui dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, secara sempit amicus curiae juga tertuang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pasal 180 ayat (1) regulasi ini memberikan pengakuan terbatas terhadap partisipasi atau keterlibatan masyarakat peradilan.
“Dalam hal diperlukan untuk menjernihkan duduknya persoalan yang timbul di sidang pengadilan, hakim ketua sidang dapat meminta keterangan ahli dan dapat pula minta agar diajukan bahan baru oleh yang berkepentingan”.
Rizal dkk menyimpulkan amicus curiae merupakan bahan baru dalam peradilan di Indonesia yang belum memiliki bentuk baku, karena belum adanya peraturan secara jelas dan khusus dalam peraturan perundang-undangan. Kedudukannya bukan sebagai keterangan saksi ataupun saksi ahli, karena amicus curiae ini lebih kepada partisipasi masyarakat.
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi atau MK sedikitnya telah menerima 21 pengajuan amicus curiae atau sahabat peradilan dalam kasus sengketa Pilpres 2024 per 16 April 2024. Dari jumlah tersebut, beberapa di antaranya ada nama tokoh terkenal. Baik dari kalangan politikus, agamawan, hingga budayawan dan seniman.
Kepala Biro Hukum dan Administrasi Kepaniteraan MK Fajar Laksono mengatakan hanya ada 14 amicus curiae perkara perselisihan hasil pemilihan umum presiden 2024 yang didalami.
14 amicus curiae tersebut telah diserahkan kepada majelis hakim konstitusi yang menangani perkara sengketa pilpres. Namun, ia tidak bisa memastikan dipertimbangkan atau tidaknya amicus curiae. “14 itu yang sampai dengan hari ini sudah didalami oleh hakim, bukan berarti dipertimbangkan ya,” kata Fajar saat ditemui di Gedung I MK, Jakarta seperti dilansir Antara, Kamis, 18 April 2024.
HENDRIK KHOIRUL MUHID | AMELIA RAHIMA SARI | ANTARA
Pilihan editor: Pro-kontra Amicus Curiae dalam Kasus Sengketa Pilpres 2024