TEMPO.CO, Jakarta - Koordinator Kaukus Indonesia Kebebasan Akademik (KIKA), Satria Unggul mengatakan kasus pelanggaran akademik kerap terjadi akibat kebijakan pemerintah yang akhirnya berpengaruh pada tunjangan dosen. Khususnya kasus yang belakangan viral di X, yakni tudingan kepada Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Nasional (Unas), Kumba Digdowiseiso yang mencatut nama dosen Universitas Universitas Malaysia Terengganu (UMT) dalam publikasi ilmiahnya.
Satria menilai bahwa kebijakan dari pemerintah mengakibatkan banyak celah yang menghasilkan para akademisi di Indonesia melakukan praktik jurnal predator atau fake journal. "Misalnya dari beban kerja dosen atau BKD. Aturan tentang BKD yang bahkan profesor harus mempublikasikan satu artikel bereputasi dan satu buku per semester. Itu akan menghasilkan cara-cara predatoris," kata Satria ketika dihubungi Tempo, Senin, 15 April 2024.
Menurut dia, banyak profesor yang mempunyai mahasiswa bimbingan, memanfaatkan mereka untuk menulis artikel jurnal dan mencantumkan namanya. Istilah ini disebut sebagai free rider. "Cara-cara ini baik secara individu maupun secara kebijakan pendidikan tinggi kita merupakan persoalan yang serius."
Mengenai tingginya tuntutan kuantitas jurnal ilmiah yang dibebankan oleh pemerintah kepada kampus, koordinator KIKA itu menyebut, hal ini berdampak pada tunjangan guru besar. "Terkait kuantitas publikasi memang kalau di kinerja dosen bisa menjadi satu indikator untuk tunjangan. Kalau guru besar untuk tunjangan guru besar. Sementara dosen untuk sertifikasi dosen, tapi itu bukan satu variabel utama," katanya.
Akhirnya, cara culas dosen-dosen di Indonesia ini yang mau tidak mau dilakukan, "Karena mereka takut tunjangan-tunjangan yang diberikan oleh negara kemudian dicabut atau di-suspend (ditahan). Maka ini merupakan masalah dari hulu sampai hilir yang harus diperbaiki menurut kami."
Selanjutnya, kuantitas publikasi tersebut kemudian dilaporkan tiap semester dalam beban kerja dosen (BKD) dan sasaran kinerja pegawai (SKP). BKD dan SKP terus dimonitor oleh Kemendikbudristek hingga akhirnya menjadi dasar kenaikan jabatan akademik dosen.
Yang ketiga, lanjut Satria, upaya-upaya culas tersebut dinilai untuk mendapatkan hibah penelitian. Sebab di Dikti, sitasi mempengaruhi eligibilitas dosen dalam mengajukan publikasi. Pemerintah melihat indeks di Sinta (Science and Technology Index) dari Kemendikbud yang berisi kinerja publikasi dosen yang dihitung secara kuantitatif oleh Dikti.
"Misalnya di Dikti, dosen-dosen di skema penelitian tertentu harus punya H indeks dengan skor tertentu. H indeks ini kemudian didapatkan dari sitasi. Faktor buruknya, sitasi akan berdampak pada praktik culas seperti kartel sitasi dan pelanggaran akademik lainnya."
Dalam kasus Kumba, Satria menjelaskan dekan tersebut bisa saja membuat kebijakan untuk mensitasi artikelnya. Baik relevan maupun tidak dengan bidang penelitian. "Atau memanfaatkan kartel sitasi. Misalnya publikasi Kumba di manajemen ekonomi, tapi yang mensitasi artikel di bidang pendidikan dan teknik. Itu tanda-tanda kartel sitasi yang sangat sistematis," tuturnya.
Satria menjelaskan, secara hilir, model-model pemringkatan dan sebagainya seperti Sinta menjadi catatan khusus di KIKA. "Betapa motede kuantitatif metrik itu banyak persoalan yang akhirnya menjadikan praktik pelanggaran, seperti kartel sitasi, atau over publication yang dilakukan oleh Kumba."
Pilihan editor: Parpol hingga Ketua MPR Dorong Rekonsiliasi Nasional seusai Pemilu 2024