TEMPO.CO, Jakarta - Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) mengharapkan kampus tetap menjadi ruang yang aman dalam menjaga kebebasan akademik dan berpendapat bagi mahasiswa. Kampus tak boleh lagi melakukan tindakan represif dalam merespons nalar kritis mahasiswanya.
Koordinator KIKA, Satria Unggul mengatakan pergerakan yang dilakukan mahasiswa acapkali berbeda pada seriap era. Mahasiswa memiliki ciri dan khasnya masing-masing dalam menyampaikan nalar kritis terhadap keadaan negara hari ini.
"Kampus tidak bisa membatasi gerakan ini dengan cara membekukan, mendisiplinkan dan cara lain yang kemudian memberangus kebebasan akademik," kata Satria saat dihubungi, Kamis, 31 Oktober 2024.
Berkaca dari kasus pembekuan BEM Fisip Unair beberapa hari lalu, Satria mengatakan, hal tersebut menjadi suatu presede buruk bagi kelangsungan kebebasan akademik apabila kampus meresponsya dengan metode yang represif.
BEM Fisip Unair sempat dibekukan buntut karangan bunga satire yang dinilai kampus tak sesuai dengan etika dan kultur akademik. Unair menilai diksi yang tertera dalam karangan bunga tersebut menjurus pada ujaran kebencian.
Akan tetapi, menurut Satria, apa yang dilakukan BEM Fisip Unair adalah karaktertistik yang acapkali dimiliki mahasiswa dalam menjalankan pergerakan.
Ia menilai tidak bisa kampus membicarakan sopan santun dalam konteks yang tidak ada hubungannya dengan dunia akademik, terutama dalam karangan bunga yang ditujukan pada pemerintahan.
"Kalau pun harus dibatasi, itu hanya bisa dilakukan dengan merujuk prinsip hukum dan HAM," ujar Satria.
Dekan FISIP Unair, Bagong Suyanto mengatakan, bahwa kritik sebaiknya menggunakan diksi yang sesuai koridor akademik. Menurut ia, diksi yang dipilih oleh BEM FISIP Unair untuk membuat karangan bunga menjurus pada ujaran kebencian.
"Bagi saya, diksi di karangan bunga itu sarkasme, bukan satir," kata Bagong kepada Tempo, Rabu 30 Oktober 2024.
Diksi sarkasme yang kasar, kata dia, kerap digunakan oleh sebagian elite politik di Indonesia. Karenanya, Bagong berharap agar perkataan kasar itu tidak ditiru mahasiswa.
Menurut dia, jika elite politik terbiasa menggunakan perkataan kasar, maka harusnya dilawan dengan diksi yang setengah kasar ukan diksi yang halus.
Kendati demikian, Bagong menyatakan bahwa dirinya tidak anti terhadap diksi kasar. Namun, hendaknya menggunakan kanal pribadi jika ingin menggunakan diksi kasar. Bukan mengatasnamakan institusi akademik.
Hanaa Septiana berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan Editor: Kasus Karangan Bunga Satire, Dekan FISIP Unair Jelaskan Maksud Diksi yang Tepat untuk Kritik