TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim mencabut Permendikbud yang mengatur Ekstrakurikuler Wajib Pendidikan Pramuka lewat pemberlakuan Permendikbudristek Nomor 12 Tahun 2024.
Dalam peraturan baru itu mengatur bahwa keikutsertaan murid dalam kegiatan ekskul Pramuka di sekolah bersifat sukarela.
Kebijakan Menteri Nadiem mencabut ekskul Pramuka itu kemudian menuai polemik publik. Kwartir Nasional atau Kwarnas Pramuka dan Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) memberikan respons berbeda terhadap kebijakan Nadiem tersebut.
Berikut pernyataan Kwarnas dan P2G yang dihimpun dari Tempo:
Kwarnas Pramuka minta Nadiem tinjau kembali
Sekretaris Jenderal Kwarnas Pramuka, Bachtiar Utomo, meminta kepada Menteri Nadiem agar meninjau kembali peraturan tersebut.
Menurutnya, sejarah pembentukan dan eksistensi Gerakan Pramuka di Indonesia merupakan keputusan negara dan pemerintahan. Menurut dia, adanya Gerakan Pramuka berperan terhadap pembangunan karakter bangsa.
Dalam sejarahnya, ia mengatakan sudah banyak regulasi yang menyatakan dukungan negara terhadap Gerakan Pramuka. Ia menyebut misalnya Kepres Nomor 238 Tahun 1961 tentang Gerakan Pramuka, Kepres Nomor 104 Tahun 2004 tentang Pengesahan Anggaran Dasar Gerakan Pramuka, sampai UU Nomor 12 Tahun 2010 tentang Gerakan Pramuka.
“Jadi kalau melihat perkembangan Gerakan Pramuka sampai sekarang sangatlah strategis, terlebih dalam membantu pencapaian tujuan pendidikan nasional, yaitu menciptakan manusia Indonesia yang bermartabat, cerdas, dan bertakwa,” kata Bachtiar dalam keterangan tertulisnya, Senin, 1 April 2024.
Ia menyatakan, bahwa Gerakan Pramuka sebetulnya sejalan dengan upaya dari Kemendikbudristek serta berbagai kementerian dan lembaga negara lainnya. Hal itu dibuktikan dengan adanya Satuan Karya Pramuka di sejumlah kementerian dan lembaga negara.
“Seperti di Kemendikbudristek dengan nama Saka Widya Budaya Bakti, mengajarkan pentingnya pendidikan praktis di bidang pendidikan dan kebudayaan seperti seni, tradisi, dan nilai budaya,” ucapnya.
Selain itu, ia juga mengklaim bahwa beberapa lembaga seperti Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) dan Basarnas ingin bekerja sama dengan Gerakan Pramuka.
Keberadaan Pramuka, menurut dia, juga tidak lepas dari paradigma pendidikan, yang menyatakan bahwa proses pendidikan dipengaruhi oleh tiga aspek utama. Adapun di antaranya aspek pendidikan formal, informal, dan non-formal. Karena itu, ia menilai semestinya Kemendikbudristek menjadi motor Gerakan Pramuka yang utama.
“Jadi dalam melihat keberadaan gerakan Pramuka janganlah fatalistis, tetapi holistis yang memperhitungkan berbagai aspek dan mampu mencegah konflik yang tidak diharapkan,” ucap mantan Gubernur Akademi Militer itu.
Ia menuturkan bahwa pembentukan nilai-nilai kepribadian peserta didik itu tidak bisa dilakukan lewat kegiatan daring. Sebaliknya, Bachtiar mengatakan, tempat yang pas untuk membentuk sikap disiplin, semangat pantang menyerah, kejujuran, rela berkorban, dan kepedulian adalah Pramuka.
Meski menyayangkan kebijakan Mendikbudristek Nadiem soal tidak wajibnya kegiatan Pramuka ini, ia menyatakan bahwa Gerakan Pramuka membuka diri untuk perbaikan agar bisa lebih baik dan maju, serta dapat membantu program pemerintah maupun masyarakat umum.
“Kami mengakui bahwa Pramuka ke depannya masih memerlukan kolaborasi dan sinergi bersama stakeholders lainnya untuk memberikan yang terbaik bagi bangsa dan negara Indonesia,” katanya.