TEMPO.CO, Jakarta - Pakar hukum tata negara Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, mengatakan ambang batas parlemen atau parliamentary threshold seharusnya ditiadakan. Menurut dia, penghapusan itu sudah sepantasnya jika mengikuti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengamanatkan revisi aturan ambang batas parlemen 4 persen dalam Pasal 414 ayat 1 UU Pemilu.
Kalau mengikuti ratio decidendi (pertimbangan hakim) putusan MK nomor 116 itu, harusnya ambang batas itu ditiadakan untuk menjamin pelaksanaan prinsip proporsionalitas dalam Pemilu,” kata Hamzah melalui pesan singkat dikutip Sabtu, 2 Maret 2024.
Adapun MK mengeluarkan ketentuan itu melalui putusan perkara nomor 116/PUU-XXI/2023 dalam sidang pleno pada Kamis, 29 Februari 2024. Dalam sidang tersebut, Wakil Ketua MK Saldi Isra menyatakan jumlah suara yang diperoleh partai politik selaras dengan jumlah kursi yang diraih di parlemen, jika mengikuti prinsip proporsionalitas Pemilu yang dianut di Indonesia.
Menurut Hamzah, suara sah pemilih yang dikonversi menjadi kursi di parlemen semestinya selaras dengan jumlah partai politik yang berkompetisi dalam Pemilu. Dia menyatakan ambang batas parlemen 4 persen telah mengakibatkan banyaknya suara yang tak dihitung. “Kan aneh, pilihan sistem pemilunya proporsional terbuka, tapi justru banyak suara pemilih yang terbuang karena ambang batas itu,” ucap Hamzah.
Hamzah juga menyoroti tidak adanya rasionalisasi dalam penetapan angka 4 persen suara sebagai ambang batas parlemen dalam aturan yang ada saat ini. Padahal, kata dia, setiap keputusan politik harus disertai argumentasi yang memadai.
Dalam proses menentukan ambang batas yang berlakus saat ini, menurut dia, menunjukan bahwa DPR dan pemerintah belum mengedepankan aspek rasionalitas hukum dalam menyusun produk lesgislasi yang mereka buat. “Ini pertanda kalau DPR dan pemerintah lebih mengedapankan syahwat politiknya dibanding rasionalitas berhukumnya,” kata Hamzah.
Hamzah pun mengingatkan agar proses revisi aturan ambang batas parlemen nantinya dilakukan dengan prinsip-prinsip yang benar. Saat ini, MK telah memutus bahwa pembuatan aturan baru nantinya menjadi domain pembentuk UU atau open legal policy.
Menurutnya, ketiadaan prinsip-prinsip tersebut dalam pemutusan aturan saat ini menbuat MK akhirnya menyatakan ketentuan ambang batas ini inkonstitusional bersyarat. “Tapi harus dipahami, open legal policy itu tidak boleh bertentangan dengan hak politik, kedaulatan rakyat, dan rasionalitas,” ucap Hamzah
Pilihan editor: Kapuspen TNI Bantah Penambahan 22 Kodam Baru untuk Campuri Urusan Politik