TEMPO.CO, Jakarta -Tiga pakar hukum tata negara dan sutradara Dirty Vote dilaporkan ke polisi pada Selasa, 13 Februari 2024. Laporan itu dilayangkan Dewan Pimpinan Pusat Forum Komunikasi Santri Indonesia (DPP Foksi) ke Markas Besar Polisi Republik Indonesia (Mabes Polri) dengan terlapor Zainal Arifin Mochtar, Feri Amsari, Bivitri Susanti beserta Dandhy Laksono selaku sutradara.
Dimas Bagus Arya Koordinator KontraS memberikan tanggapannya soal dilaporkannya Dandhy Laksono sebagai sutradara dan tiga ahli hukum tata negara yakni Bivitri Susanti, Zainal Arifin Mochtar, dan Feri Amsari dalam Film Dirty Vote ke Kepolisian.
"Menurut Kami dengan adanya pelaporan kepada Mas Dhandy dan 3 Pakar Hukum yang terlibat dalam Film Dirty Vote semakin menunjukkan dan semakin memperlihatkan bagaimana nuansa pembatasan kebebasan sipil terutama sekali adalah pembungkaman terhadap kebebasan berekspresi semakin tidak terbendung," kata Dimas Bagus Arya kepada tempo.co, Rabu, 14 Februari 2024.
"Kami sudah memproyeksikan ketika UU ITE direvisi, yang mana revisinya tidak mampu untuk seenggaknya untuk menghapus pasal-pasal yang problematik, Kami sudah memproyeksikan bahwa UU ITE akan tetap digunakan terutama sekali menjelang masa pencoblosan di hari ini," katanya.
"Ini adalah salah satu wajah buruk ketika kita berhadapan pada situasi-situasi yang cukup membungkam, situasi-situasi yang kemudian semakin dijustifikasi dengan adanya banyak fenomena pelaporan tidak hanya kepada Mas Dhandy dan juga awak yang kemudian terlibat dalam Dirty Vote, tapi kami juga mendapatkan info bahwa ada laporan kepada Muhidin M. Dahlan salah seorang yang kemudian memproduksi buku "Kronik Penghilangan Orang Secara Paksa," kata dia, menambahkan.
Menurutnya, ini adalah salah satu gejala bagaimana rezim otoritarianisme perlahan bangkit, ini adalah salah satu gejala dimana kemudian orang-orang yang hari ini terlibat dalam kontestasi Pemilu, orang-orang yang hari ini terlibat di sekeliling presiden dan juga kemudian menunjukkan kedigdayaannya dalam melakukan pembungkaman terhadap orang-orang yang berseberangan dan juga kerap kali mengkritik Presiden semakin menunjukkan bahwa Pemerintah hari ini meskipun tidak secara langsung tapi menggunakan agen atau fasilitator lainnya itu cukup memberikan nuansa ketakutan.
"Ada politik ketakutan yang diciptakan, ada politik pembungkaman yang diciptakan begitu, sehingga ke depannya pasti akan ada penutupan satu penutupan ruang sipil itu yang pertama, yang kedua kami pun melihat sejumlah fenomena ketika film Dirty Vote dikeluarkan," kata Dimas Bagus.
"Kami melihat apa yang kemudian disampaikan kawan-kawan melalui medium film dokumenter itu adalah salah satu studi atau salah satu produk ilmiah yang karenanya memang dibicarakan dengan kerangka ilmiah, kerangka saintifik begitu ya," ujarnya.
Dimas Bagus mengatakan, jika ada yang tidak berkesesuain harusnya dibantah dengan data, harus dibantah dengan informasi yang mungkin berkelainan yang didalilkan Dirty Vote. "Bukan malah menggunakan instrumen hukum karena sejatinya penggunaan instrumen hukum oleh kaki tangan dan oleh penguasa hari ini menunjukkan bahwa Indonesia berada pada jurang otoritarianisme," kata Dimas.
Pilihan Editor: Respons AJI Surabaya Soal Dilaporkannya Dirty Vote ke Polisi: Kemerdekaan Berpendapat Belum Dijamin