TEMPO.CO, Jakarta - Jelang pelaksanaan Pemilu yang semakin dekat, guru besar dan sivitas akademika dari berbagai universitas ternama di Indonesia serukan kritik pada Presiden Joko Widodo atau Jokowi dan pemerintahannya yang dianggap telah melanggar prinsip-prinsip demokrasi.
Kritik tersebut diawali guru besar dan sivitas akademika dari Universitas Gadjah Mada (UGM) yang mengeluarkan Petisi Bulaksumur, pada 31 Januari 2024. Hingga 7 Februari 2024, sebanyak 32 universitas di Indonesia turut mengkritisi pemerintahan Jokowi. Meski begitu, Universitas Udayana di Bali justru memiliki pandangan yang berbeda.
Berdasarkan postingan Instagram @univ.udayana, pihak Rektorat Universitas Udayana berkomitmen untuk mendukung proses demokrasi yang ada dan menciptakan lingkungan kampus yang inklusif dan demokratis. Tak hanya itu, Rektor Udayana mengimbau untuk melaksanakan Pemilu secara damai, memupuk toleransi, serta menghargai perbedaan pandangan terkait Pemilu 2024.
I Wayan Tresna Suwardiana Ketua BEM Universitas Udayana mengaku kecewa dengan pernyataan yang dikeluarkan oleh pihak rektorat. Menurutnya, dengan adanya kritik dari berbagai guru besar dan sivitas akademika puluhan universitas di Indonesia merupakan tanda bahwa demokrasi saat ini sudah keluar jauh dari koridornya.
"Pernyataan Rektor Unud cenderung normatif dan tidak jelas penentuan sikapnya. Harusnya Udayana menunjukkan sikap yang jelas dan menjunjung keilmiahan setelah melihat situasi demokrasi belakangan ini" kata Tresna.
Tresna bersama jajaran BEM Unud pun memilih jalan yang berbeda dengan pihak rektorat. Hal ini dibuktikan dengan postingan pernyataan sikap yang dikeluarkan melalui akun Instagram @bem_udayana.
Melalui postingan tersebut, BEM Universitas Udayana menyesalkan segala tindakan menyimpang yang dilakukan Presiden Joko Widodo dan Jokowi terutama mengenai netralitasnya dalam Pemilu 2024 sebagai bentuk kemunduran demokrasi di Indonesia.
Dalam pernyataan sikap tersebut, BEM Udayana menyatakan 6 tuntutan kepada pemerintah berdasarkan situasi demokrasi saat ini. Salah satunya adalah mendesak Presiden Jokowi untuk segera melakukan cuti dan sadar bahwa harus bersikap netral mengenai Pemilu, dan tidak menggunakan fasilitas negara dalam kepentingan politik keluarga.
Tresna menyebut imbauan untuk bersikap netral memang diawali oleh Presiden Jokowi, namun pada kenyataannya banyak menteri yang terang-terangan menunjukkan keberpihakan pada paslon sehingga tidak sesuai dengan peraturan yang ada.
"Presiden Jokowi juga memperkeruh suasana dengan statement bahwa Presiden boleh kampanye, merupakan pernyataan yang sangat sarat akan konflik kepentingan. Boleh saja (kampanye), tapi harus sesuai UU yakni harus cuti dahulu" kata dia.
Selain itu, dalam tuntutan tersebut BEM Udayana juga mengajak seluruh sivitas akademika Universitas Udayana sebagai insan kampus pewahyu rakyat untuk memberikan sikap pada situasi menjelang Pemilu 2024 sebagai bentuk kontribusi menjaga demokrasi. Hal tersebut diwujudkan dengan turun ke jalan pada 9 Februari 2024 lalu yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa dan Pemuda Bali melalui aksi “Selamatkan Demokrasi”.
Tresna menyebut kondisi Pemilu saat ini memang memanas terutama dengan waktu pemilihan yang semakin dekat, menurutnya mahasiswa di Bali tidak buta dengan politik tapi hanya sedikit yang mau bersuara.
"Yang sadar dengan kondisi ini pasti banyak, tapi mungkin banyak juga yang berpikiran bahwa aksi ini ditunggangi kepentingan atau mau menyudutkan salah satu paslon padahal ya memang murni dari keresahan kita melihat kondisi sekarang" kata Tresna.
Tresna juga menyayangkan opini-opini yang muncul mengenai kritikan pada pemerintah yang disebut sebagai ulah partisan. Baginya, kritikan pada pemerintah yang dilontarkan terutama oleh guru besar sudah seharusnya bisa ditanggapi secara bijak karena berdasar pada pengalaman keilmuan yang justru dapat menyelamatkan kondisi demokrasi.
Pilihan Editor: Aliansi Mahasiswa dan Pemuda Bali Gelar Aksi Kritisi 10 Tahun Pemerintahan Jokowi, Ini Kata BEM Universitas Udayana