TEMPO.CO, Jakarta - Petisi Bulaksumur merupakan bentuk gerakan moral dipicu kekhawatiran dan keprihatinan situasi demokrasi dan politik Indonesia menuju Pemilu 2024. Petisi ini dibacakan Ketua Dewan Guru Besar Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof Koentjoro, pada Rabu, 31 Januari 2024 di Balairung UGM, Yogyakarta.
sebagai Guru Besar Fakultas Psikologi bersama guru besar dan sivitas akademika UGM lainnya.
Setelah UGM, beberapa kampus di Indonesia pun ikut turun menanggapi terkikisnya demokrasi saat ini, seperti Universitas Indonesia (UI), Universitas Islam Indonesia (UII), dan Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Airloangga (Unair), Universitas Andalas (Unand), Institit Teknologi bandung (ITB) dan puluhan lainnya.
Namun, gerakan kampus dari guru besar dan sivitas akademika mengkritik sikap Jokowi sebagai pemimpin negara tidak diterima semua pihak. Beberapa pihak mengatakan petisi atau gerakan dari kampus ini merupakan partisan atau hanya untuk kepentingan elektoral.
“Kita (guru besar) dituduh partisan, tetapi yang menuduh tidak bisa menunjukkan bukti bahwa ini partisan. Di UGM, ada 250 guru besar yang hadir, tetapi dikatakan partisan. Padahal, tugas guru besar untuk menjaga moralitas dan demokrasi. Kita sebagai Guru Besar UGM salah, jika di UGM ada pelanggaran etik, tetapi malah mendiamkan. Saya marah besar ketika ada yang menyinggung tugas guru besar,” kata guru besar Fakultas Psikologi UGM itu.
Melalui ruang pertemuan secara daring, pada Senin sore, 5 Februari 2024, Prof Koentjoro Kepada Rachel Farahdiba Regar dari Tempo.co, menjelaskan mengenai lahirnya Petisi Bulaksumur sampai kondisi publik setelah pembacaan petisi tersebut. Pasalnya, tanggapan publik yang tidak tepat terkait Petisi Bulaksumur UGM dan kampus-kampus lainnya membuat Prof Koentjoro dan guru besar lain merasa direndahkan. Berikut kutipan wawancaranya:
Bagaimana gagasan dan proses awal terbentuknya Petisi Bulaksumur UGM?
Tindakan Jokowi yang merupakan alumnus UGM semakin lama semakin membahayakan. Jokowi mencla-mencle yang dapat dilihat dari keterlibatan putra sulungnya dalam Pilpres 2024 sampai masalah kampanye. Tindakan yang dilakukan Jokowi ini cenderung menabrak etika yang memberikan tahta pada keadilan. Sikap mencla-mencle ini juga kerap diperbincangkan dosen secara personal. Selain itu, Ketua BEM UGM, Gielbran M. Noor juga telah menganugerahi “Alumnus UGM paling Memalukan” kepada Jokowi.
Melihat Jokowi yang tidak kunjung berubah, Pusat Studi Pancasila (PSP) UGM menginisiasi petisi. Pada 31 Januari 2024, pukul 13.00-15.00 WIB, guru besar dan sivitas akademika UGM menyelenggarakan diskusi di Balai Senat yang dihadiri Ketua PSP, eks Rektor UGM, dan petinggi Wali Amanat. Terdapat 7 pembicara dengan makna pitulungan yang berarti pertolongan dan 6 penanggap. Mereka memiliki pandangan yang sama terkait rasa adil.
Apa urgensi utama dari petisi ini?
Urgensi dari petisi ini memiliki dua hal yang utama. Pertama, mengingatkan kepada Jokowi sebagai alumnus UGM agar kembali mewujudkan nilai-nilai dan jati diri UGM. Kedua, meminta Jokowi untuk segera kembali kepada demokrasi Pancasila. Setelah membacakan, hymne UGM pun dinyanyikan agar mengingatkan untuk kembali ke demokrasi Pancasila.
Siapa saja yang ikut menggagas Petisi Bulaksumur UGM?
Profesor banyak. Jumlah semua yang hadir ketika perumusan petisi bulaksumur UGM sekitar 250 orang. Kita tidak mungkin mengarahkan 250 profesor untuk melakukan sesuatu hal, jika bukan dari dirinya sendiri.
Selanjutnya: Prof Koentjoro sebut kasus Gibran sah secara hukum, tetapi cacat etika