Pada 15 Januari 1974, aksi yang telah direncanakan itu pun kemudian dijalankan. Sebagaimana telah direncanakan sebelumnya, massa akan berkumpul di lapangan Monas. Massa pimpinan Bambang Sulistomo dan Theo Sambuaga itu berkumpul dulu di halaman UI sekitar pukul 08 00 WIB sebelumnya akhirnya bergerak ke titik awal aksi di Universitas Trisakti.
Namun, dalam perjalanan menuju kampus Trisakti telah terjadi beberapa perkembangan. Pertama, semakin lama massa makin bertambah oleh bergabungnya massa yang telah menunggu di jalanan antara Salemba- Grogol. Kedua, masa akhirnya terpencar menjadi dua bagian besar, sebagian bergabung dengan lapangan Monas dan sebagian lainnya menuju Trisakti.
“Sulit bagi koordinator lapangan untuk mengidentifikasi mana mahasiswa yang telah memiliki kesepakatan koordinasi dan masa non-mahasiswa yang ikut tergabung tanpa mengetahui seluruh rencana,” tulis Fatah.
Masa yang berkumpul di Universitas Trisakti akhirnya bergerak memakai kendaraan ke pusat gerakan di lapangan Monas dan daerah seputar istana. Tujuan mereka jelas untuk menemui Presiden Soeharto dan Perdana Menteri Tanaka demi menyampaikan tiga tuntutan rakyat atau Tritura ihwal pembubaran asisten pribadi, penurunan harga, dan pemberantasan korupsi. Tapi rencana berjalan di luar kendali.
Aksi damai menyampaikan Tritura itu berubah awut-awutan. Massa, entah dari kalangan mahasiswa koordinasi atau bukan, bertindak beringas dan menjadi anarkis. Melihat hal ini Bambang Sulistomo dan Theo Sambuaga kebingungan dan tidak bisa berbuat banyak. Mereka hanya bisa mengingatkan agar mahasiswa tak melakukan pengrusakan.
Menurut pengakuan Panglima Komkaptip Jendral Soemitro kepada Tempo, seperti dinukil Caldwell dkk dalam Sejarah Alternative Indonesia (2011), pihaknya kemudian menemui massa untuk menenangkan kericuhan. Namun massa kian marah karena dirinya memakai mobil buatan Jepang. Dari mobilnya, Soemitro berjanji untuk melakukan audensi antara mahasiswa dan Perdana Menteri Jepang Tanaka.
Massa kemudian menjawab bahwa mereka tak butuh dialog ruangan. Sebab sebelumnya mereka sudah bertemu Soeharto dan tanpa hasil apa pun. Soemitro juga sempat mengancam mahasiswa, pelaku pengrusakan dianggap sebagai pengkhianatan kepada negara. Namun ancaman itu tidak digubris. Dia kemudian menyuruh pasukan keamanan untuk menahan mahasiswa agar menjauhi istana.
Menurut Fatah, kerusuhan semakin melebar dengan aksi gabungan antara mahasiswa dan masyarakat. Pengrusakan dan pembakaran kendaraan juga dilakukan tidak hanya milik pribadi. Kendaraan milik Angkatan Bersenjata Republik Indonesia atau ABRI, kini TNI juga kena imbas. Kantor Astra yang terkenal sebagai importer Jepang termasuk show room turut diamuk massa.
“Termasuk perusahaan PT Insan Apollo, PT Subaru dan perusahaan lainnya. Mobil dan motor yang ada di daelar dirusak dan dihancurkan terutama mobil buatan Jepang,” tulis Fatah.
Menjelang sore, proyek Senen yang sudah dijaga aparat keamanan juga tidak terselamatkan. Pusat pertokoan terbesar di Jakarta itu dirusak dan dijarah. Mobil pemadam kebakaran yang datang ke daerah itu tidak dapat berbuat banyak karena juga ikut dirusak. Di malam hari sebuah insiden proyek Senen menyebabkan aliran listrik terputus ke daerah itu. Gerakan anti Jepang kemudian meluas menjadi gerakan anti kemewahan dan kemaksiatan.
Usman Hamid dalam Penyelewengan Hukum dan Teror Propaganda (2013) mengungkapkan, menurut berbagai sumber, dalam kerusuhan 15 dan 16 Januari itu, 11 orang meninggal, 177 mengalami luka berat, 120 luka ringan dan 755 orang ditahan. Sementara itu 807 mobil dan 187 sepeda motor rusak atau dibakar, 144 bangunan dan 1 pabrik rusak atau terbakar dan sejumlah 160 kilogram emas hilang dijarah.
Pilihan Editor: Peristiwa Malari 1974: Demonstrasi Tolak Kunjungan PM Jepang Kakuei Tanaka Berujung Rusuh