TEMPO.CO, Jakarta - Tepat hari ini, pada 15 Januari 1974 lalu atau 50 tahun silam, belasan orang meninggal dunia gara-gara aksi represif aparat keamanan terhadap unjuk rasa yang digelar mahasiswa di pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta. Insiden itu kemudian dinamai dengan sebutan Peristiwa Malari, akronim dari Malapetaka Lima Belas Januari.
Latar belakang Peristiwa Malari
Dikutip dari buku Seabad Kontroversi Sejarah (2007) oleh Asvi Warman Adam, Peristiwa Malari terjadi ketika Perdana Menteri atau PM Jepang Kakuei Tanaka sedang berkunjung ke Jakarta pada 14-17 Januari 1974. Mahasiswa merencanakan penyambutan kedatangan pimpinan Negeri Sakura itu dengan demonstrasi. Namun aksi yang direncanakan damai itu berakhir ricuh.
Penyebab malapetaka ini sebenarnya tidak sederhana dan telah terpupuk sejak awal 1970-an. Pecahnya protes pada pertengahan Januari 1974 yang berubah jadi insiden itu secara garis besar dilatarbelakangi masalah ekonomi. Mahasiswa turun ke jalan karena kecewa dengan pemerintahan Presiden Soeharto. Mereka menolak kebijakan Orde Baru bekerja sama dengan Jepang dalam bidang ekonomi.
Peristiwa Malari dapat dilihat dari berbagai perspektif. Sejarawan Asvi Warman Adam melihat dua sudut pandang dalam peristiwa ini. Pertama, sebagai bentuk demonstrasi mahasiswa menentang modal asing, terutama Jepang. Kedua bentuk ketidaksenangan kaum intelektual terhadap Asisten Pribadi atau Aspri presiden Soeharto yaitu Ali Moertopo dan Soedjono Humardani.
Ipong Jazimah dalam Malari: Studi Gerakan Mahasiswa Masa Orde Baru (2013) mengungkapkan percikan peristiwa ini telah bermula sejak 9 Januari 1974. Hari itu, sebelum kedatangan Tanaka, demonstrasi mahasiswa menentang para aspri presiden. Di Jakarta dan Bandung terjadi pembakaran boneka-boneka yang menggambarkan Soedjono Humardani dan Tanaka.
“Para Aspri menyerang balik mahasiswa, mereka menuduh mahasiswa telah ditunggangi oleh kekuatan luar yang anti Suharto,” tulis Ipong Jazimah.
Kemudian pada 11 Januari, Soeharto menerima delegasi Dewan-Dewan Mahasiswa. Mereka menyampaikan kecaman dan mempertanyakan kewibawaan presiden yang dirongrong tingkah laku para pemimpin yang memperkaya diri secara tidak sah. Mereka menilai operasi khusus atau opsus yang dipimpin Ali Moertopo memiliki kekuasaan yang besar melebihi pemerintah dan parlemen.
Namun pertemuan antara delegasi mahasiswa dan Suharto tidak menghasilkan apa-apa. Dari situlah kemudian mahasiswa melalui sebuah Apel Siaga Mahasiswa di kampus UKI pada 12 Januari mengajak masyarakat untuk menyambut PM Jepang dengan gerakan aksi. Mereka mengajak masyarakat untuk memasang bendera setengah tiang pada hari kehadiran Perdana Menteri Tanaka.
“Selain itu juga mengajak koran untuk memboikot pemberitaan tentangnya, dan mengadakan aksi total pada tanggal 15 Januari 1974,” tulis Ipong.
Eep Saefullah Fatah dalam Konflik, Manipulasi dan Kebangkrutan Orde Baru Manajemen Konflik, Malari, Petisi 50 dan Tanjung Priok (2010) mengungkapkan, pada 14 Januari 1974 malam, ratusan mahasiswa telah berada di sekitar lapangan Halim Perdana Kusuma untuk “menyambut” kedatangan Tanaka bersamaan dengan putrinya, Makiko, beserta rombongan pejabat Jepang.
Karena situasi tak kondusif maka Soeharto menggunakan helikopter untuk menjemput rombongan Tanaka. Hal ini merupakan sesuatu yang tidak diduga oleh para mahasiswa. Sebab mereka berencana mencegat Soeharto dan Tanaka di daerah bandara sebelum menuju istana. Mahasiswa sangat kecewa karena gagal menyampaikan aspirasi mereka terhadap Tanaka dan putrinya.
Malam hari itu juga para mahasiswa kemudian berkumpul di kampus Universitas Indonesia atau UI. Diskusi ini dipimpin Hariman Siregar. Pertemuan ini dihasilkan kesepakatan untuk mengumpulkan masa mahasiswa dalam rencana gerakan esok paginya. Bambang Sulistomo dan Theo Sambuaga ditunjuk sebagai koordinator aksi dari dewan mahasiswa UI. Universitas Trisakti diputuskan sebagai titik awal gerakan.
Selanjutnya: Pecahnya Peristiwa Malari