TEMPO.CO, Jakarta - Setelah ditetapkan sebagai presiden terpilih dalam Pilpres 2024 oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 24 April lalu, Prabowo Subianto menyatakan akan merangkul semua komponen bangsa. Prabowo sudah bertemu dengan pimpinan partai politik di luar Koalisi Indonesia Maju (KIM) seperti Ketua Umum Nasdem Surya Paloh dan Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar alias Cak Imin.
Namun sejumlah pihak mengatakan kekuatan partai oposisi di pemerintahan mendatang tetap dibutuhkan agar ada yang mengontrol dan mengawasi pemerintah.
Peneliti BRIN Sebut Partai Oposisi Masih Dibutuhkan
Menurut peneliti politik senior Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Siti Zuhro mengatakan partai politik yang bertindak sebagai oposisi masih diperlukan dari perspektif demokrasi dan ketatanegaraan.
Menurutnya, partai politik yang memiliki kursi di DPR RI dan berada di luar pemerintahan bisa bertindak sebagai pengawas atas kebijakan-kebijakan atau aturan-aturan yang dibentuk oleh eksekutif.
"Kalau melenceng dari haluan negara maka siapa yang mengingatkan?" kata Zuhro saat dihubungi di Jakarta, Rabu, 8 Mei 2024.
Dia mengatakan istilah oposisi tak selalu dimaknai dengan kelompok yang tidak setuju dengan pihak yang berkuasa. Oposisi yang dimaksud bisa dimaknai sebagai pihak yang mengoreksi yang memiliki tugas sama mulianya.
Setelah masa Pemilu 2024 selesai, kata dia, idealnya pihak yang menang harus dihormati. Pihak yang kalah pun perlu berposisi mengimbangi di DPR berdasarkan visi dan misi berbeda dengan pihak pemenang.
"Dalam hal ini oposisi, karena DPR itu harus jadi dewannya rakyat yang merepresentasikan," kata dia.
Mengenai pernyataan mantan calon presiden Ganjar Pranowo yang menyatakan diri akan menjadi oposisi, menurutnya hal tersebut idealnya diikuti oleh para pihak yang kalah dalam Pemilu 2024.
Prabowo Diingatkan agar Tidak Kebablasan
Adapun pendiri Haidar Alwi Institute (HAI), R. Haidar Alwi, mengingatkan agar presiden terpilih Prabowo Subianto tidak kebablasan dengan merangkul semua pihak ke dalam koalisinya. Sebab, koalisi yang terlalu gemuk dapat berpotensi mengganggu keseimbangan demokrasi dan pemerintahan.
"Waktu yang tersisa sebelum pelantikan kurang lebih enam bulan, sehingga perlu diingatkan agar waktu tersebut dimanfaatkan sebaik-baiknya dalam membentuk koalisi dan postur koalisi yang tepat sesuai tujuan di atas," kata Haidar dalam keterangan tertulis pada Selasa, 7 Mei 2024.