Berikut 12 kasus pelanggaran HAM berat yang masih jadi pekerjaan rumah pemerintah
1. Pembunuhan Massal 1965
Pada 2012 silam, Komnas HAM menyatakan ada.indikasi pelanggaran HAM berat dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965. Kasus pelanggaran HAM yang ditemukan meliputi pembunuhan, penganiayaan, pemerkosaan, penghilangan paksa, hingga perbudakan. Dari dugaan-dugaan itu, Komnas HAM menemukan sebagian besar korban adalah anggota PKI dan organisasi lain yang masih berkaitan. Korban lainnya adalah masyarakat umum.
2. Peristiwa Talangsari Lampung 1989
Peristiwa Talangsari terjadi pada 7 Februari 1989. Pelanggaran HAM berat ini pecah karena ada penerapan asas tunggal Pancasila di masa Orde Baru. Saat itu, pemerintah, polisi, dan militer menyerbu masyarakat sipil di dusun Talangsari, Desa Rajabasa Lama, Way Jepara, Lampung Timur. Komnas HAM mencatat peristiwa Talangsari setidaknya merenggut 130 nyawa, 77 diusir, 53 orang dirampas haknya, dan 46 orang disiksa. Namun, jumlah pasti korban tidak diketahui.
3. Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998
Peristiwa ini terjadi ketika masa Pilpres untuk periode 1998-2003. KontraS menyebut saat itu ada dua agenda politik besar, yakni Pemilu 1997 dan Sidang Umum MPR pada Maret 1998 sejumlah aktivis, pemuda, dan mahasiswa diculik Gagasan mereka dianggap berbahaya dan dapat menghambat jalannya roda pemerintahan rezim Soeharto.
Pada 1 Oktober 2005, Komnas HAM membuat tim Ad Hoc Penyelidikan Pelanggaran HAM berat pada peristiwa ini. Hasilnya. Komnas HAM menemukan adanya dugaan pelanggaran HAM berat dalam peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998. Merujuk laporan KontraS pada 2017, 9 orang korban penculikan berhasil ditemukan. Namun 13 orang korban lainnya masih dinyatakan hilang hingga saat ini.
4. Peristiwa Rumoh Geudong Aceh 1998
Tragedi Rumah Geudong merupakan peristiwa penyiksaan terhadap masyarakat Aceh oleh aparat TNI selama masa konflik Aceh (1989-1998). Peristiwa berlangsung ketika wilayah Aceh tengah dalam status Daerah Operasi Militer (DOM) tersebut. Pemerintah melalui panglima ABRI memutuskan untuk melancarkan operasi jaring merah. Dalam operasi ini, Korem 011/Lilawangsa menjadi pusat komando lapangan.
Hasil penyelidikan Komnas HAM mengungkap bahwa dalam peristiwa ini terendus indikasi pelanggaran HAM berupa kekerasan seksual, penyiksaan, pembunuhan, hingga penghilangan secara paksa. Berkas hasil penyelidikan itu telah diserahkan ke Kejagung pada 28 Agustus 2018. Namun, sampai saat ini tindak lanjut dari Kejagung belum juga selesai.
Majalah Tempo melaporkan, pada akhir Juni 2023 lalu, Presiden Jokowi secara resmi memulai proses pemberian kompensasi untuk korban dalam 12 kasus pelanggaran HAM berat. Peluncuran kebijakan ini ditandai oleh seremoni di lokasi salah satu kasus pelanggaran HAM berat, yakni di Rumoh Geudong, Pidie, Aceh. Ironisnya, seremoni itu diprotes sejumlah lembaga swadaya masyarakat. Mereka menyesalkan pembersihan bekas lokasi penyiksaan warga Pidie tersebut dari puing.
Artefak sejarah yang seharusnya dijaga dan dilestarikan untuk merawat memori kolektif soal peristiwa memilukan itu justru disingkirkan demi kelancaran upacara yang dihadiri Presiden dan sejumlah menteri. Insiden pembersihan di Rumoh Geudong sejatinya mencerminkan kelirunya pendekatan Presiden dan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang dipimpin Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md.
“Tak hanya salah menerjemahkan aspirasi warga dan keinginan korban yang berkeras mempertahankan bukti sejarah yang tersisa di Rumoh Geudong, tekanan yang terlampau besar pada soal pemberian kompensasi kepada korban menunjukkan kegagalan pemerintah memahami esensi dari penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM di negeri ini,” tulis Majalah Tempo.
Selanjutnya: Jangan lupa Kerusuhan Mei 1998, Tragedi Trisakti dan Semanggi