Sementara itu, Direktur Eksekutif Lokataru Foundation, Haris Azhar, malah menilai jeblok atas penanganan pelanggaran HAM masa lalu oleh pemerintah Jokowi. Dia menyebut kinerja pemerintahan Jokowi lebih buruk dari kinerja pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY. Alih-alih merampungkan kasus lama, Haris menyebut Jokowi justru menambah kasus pelanggaran HAM baru
“Kasus lama enggak ada yang selesai, malah diperburuk dengan pelanggaran HAM baru,” kata Haris.
Dia mencontohkan kasus kekerasan dan kematian mahasiswa pada saat demonstrasi menentang revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi pada September 2019. Lokataru Foundation juga mencatat ada pengekangan kebebasan berekspresi pada era Jokowi dengan cara mengriminalisasi sejumlah aktivis. Ada juga kasus kekerasan di Papua. “Yang harusnya dilindungi malah kehilangan haknya. Situasi HAM kita makin buruk,” kata Haris.
Setahun kemudian, Jumat, 11 Desember 2020, Koran Tempo kembali memuat berita tentang penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat. Satu tahun berlalu pemerintahan periode kedua Jokowi, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan atau KontraS menilai pemenuhan hak asasi manusia dalam kurun hingga 2020 semakin terancam. Ancaman itu hadir dalam bentuk legitimasi negara terhadap berbagai dugaan pelanggaran HAM di lapangan.
“Legitimasi negara terhadap pelanggaran HAM ini muncul dalam berbagai bentuk, baik yang sifatnya tindakan langsung maupun pembiaran,” katanya, Koordinator Badan Pekerja Kontras, Fatia Maulidiyanti, Kamis, 10 Desember 2020, bertepatan dengan peringatan Hari HAM Sedunia.
Dalam rangka memperingati Hari HAM Sedunia itu, KontraS menggelar evaluasi. Dalam evaluasinya, Kontras menemukan pemerintah belum serius menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM. Bahkan, pemerintah justru merangkul aktor pelanggar HAM berat. Catatan Kontras selaras dengan temuan Komnas HAM. Dari 12 pelanggaran HAM berat masa lalu yang mereka laporkan pada 2020, tak satu ditangani pemerintah.
Dilansir dari Majalah Tempo edisi Ahad, 9 Juli 2023, Komnas HAM mencatat ada 16 kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia. Empat kasus sudah dibawa ke meja hijau lewat mekanisme yudisial. Yakni kasus di Timor Timur, Tanjung Priok (Jakarta), serta Abepura dan Paniai (Papua). Namun semua terdakwa dalam kasus itu divonis bebas. Para hakim pengadilan ad hoc HAM menilai bukti yang disodorkan Kejaksaan Agung dan Komnas HAM tak cukup kuat menjatuhkan vonis bersalah.
Penyelesaian di luar pengadilan melalui mekanisme Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) juga menemui jalan buntu. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 yang mengatur pembentukan KKR sudah dibatalkan Mahkamah Konstitusi pada 2006. Akibatnya, mekanisme penyelesaian pelanggaran HAM dengan jalur serupa yang sudah berjalan di Aceh kehilangan pijakan hukum.
Selanjutnya: 12 kasus pelanggaran HAM berat yang masih harus ditagih kepada pemerintah