TEMPO.CO, Jakarta - Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Demokratis, mengatakan pemanggilan sejumlah kepala desa di tahun pemilihan umum menimbulkan kontroversi dan perhatian masyarakat. Pemanggilan itu dianggap rawan dipergunakan sebagai sarana rezim untuk menekan kepala desa.
"Karena memperlihatkan sejumlah kejanggalan, mulai dari momentumnya di tengah pelaksanaan Pemilu, pemanggilan yang serentak, berlangsung di daerah utama kontestasi elektoral," kata Julius Ibrani, anggota Koalisi melalui keterangan tertulis, Sabtu, 2 Desember 2023.
Menurut Julius, belakangan ini ada indikasi kuat kontestan Pemilu berupaya memobilisasi dukungan para kepala desa untuk kepentingan pemenangan politik Pemilu. Jika dugaan adanya motif politik elektoral di balik pemanggilan para kepala desa benar, kata dia, polisi patut diduga menyalahgunakan kewenangannya.
"Pemanggilan tersebut dapat dipandang sebagai bentuk intimidasi terselubung," ujar dia. Sebelumnya, Kepolisian Daerah atau Polda Jawa Tengah memanggil 176 kepala desa di Kabupaten Karanganyar yang dilakukan secara bertahap antara 27-29 November 2023.
Julius mengatakan, Polda Jawa Tengah beralasan pemanggilan tersebut terkait adanya laporan dugaan pemotongan dana aspirasi desa yang bersumber dari bantuan keuangan Provinsi Jawa Tengah di tiga daerah periode 2020-2022.
Koalisi Masyarakat Sipil menilai munculnya kritik dan kekhawatiran masyarakat terkait pemanggilan kepala desa yang rawan jadi alat politik seharusnya menjadi warning bagi institusi kepolisian. Sangat penting bagi institusi kepolisian untuk mengedepankan profesionalitas dan netralitas di tengah penyelenggaraan Pemilu.
Koalisi menganggap institusi kepolisian bukanlah alat kekuasaan. "Termasuk kepentingan elite politik untuk pemenangan kontestasi Pemilu," ujar Julius. Undang-Undang Polri mengatakan Polri bukan alat kekuasaan dan larangan bagi anggotanya terlibat dalam kegiatan politik praktis dalam bentuk apa pun.
Menurut dia, penggunaan institusi kepolisian oleh elite politik dalam upaya memenangkan Pemilu tidak sekadar mengancam kebebasan dalam Pemilu. Tapi merusak profesionalisme polisi. Tidak hanya merusak kepercayaan publik terhadap institusi itu. Tapi merusak moral institusi yang seharusnya bersikap independen dan imparsial dalam situasi politik saat ini.
Koalisi masyarakat sipil mendesak Kepolisian harus mengedepankan prinsip dan standar hak asasi manusia dalam pelaksanaan tugas-tugasnya. Termasuk menghormati prinsip demokrasi. Penting dicatat, Julius mengatakan, dalam konteks Pemilu kepolisian memiliki dua kewajiban ganda yang harus dijalankan secara seimbang.
Kewajiban menjamin keamanan dan ketertiban publik dalam Pemilu dan kewajiban tidak mengintervensi hak asasi manusia. "Termasuk hak-hak politik warga negara dan menjamin lingkungan politik yang bebas dari intimidasi," tutur dia.
Dia menjelaskan, institusi yang dipimpin Kepala Kepolisian Jenderal Listyo Sigit Prabowo itu seharusnya lebih fokus memberikan pelayanan kepada masyarakat. Khususnya untuk memastikan setiap warga negara mendapatkan manfaat dari Pemilu yang dijalankan secara sehat dan bebas. Bebas dari semua bentuk intervensi yang mengganggu dan melemahkan ekspresi kehendak rakyat.
"Polisi dan aparat keamanan yang tidak menghormati hak asasi manusia berpotensi menciptakan suasana intimidasi yang menghambat para pemilih dan merusak keaslian hasil pemilu," ucap Ketua Badan Pengurus Nasional Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia atau PBHI itu.
Pilihan Editor: Polda Jawa Tengah Ungkap Alasan Tunda Panggil Kepala Desa dari Karanganyar