TEMPO.CO, Jakarta - Sebanyak 249 orang imigran Rohingya kembali mendarat di pesisir pantai Aceh, di kawasan tempat penampungan ikan Lapang Barat Kecamatan Gandapura, Kabupaten Bireuen, Aceh. Meskipun telah terdampar dan mendarat di Aceh, mereka ditolak oleh masyarakat Aceh.
Hal itu disampaikan oleh Camat Gandapura Bireuen, Azmi yang mengatakan bahwa masyarakat Aceh menolak kedatangan pengungsi Rohingya. “Masyarakat Aceh masih menolak, tetapi kita sudah sediakan makanan dan pakaian dan sudah koordinasi juga dengan Komisioner Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR) terkait kedatangan para imigran Rohingya ini,” katanya, pada 19 November 2023.
Panglima Laot (laut) Aceh Miftach Tjut Adek meminta pemerintah pusat untuk bertanggung jawab penuh atas para pengungsi, jangan diserahkan ke pemerintah di Aceh. “Pemerintah pusat tidak mau perhatian terhadap masalah ini. Maka kami berharap pusat harus segera turun tangan, jangan melepaskan masalah ini kepada pemerintah dan rakyat Aceh sendiri saja,” ujarnya.
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya mengatakan dia akan berkomunikasi dengan berbagai pihak untuk mengupayakan pertolongan bagi ratusan pengungsi Rohingya yang ditolak di Aceh. “Bukan soal aturan normatif, tetapi ini soal kemanusiaan,” kata Gus Yahya.
Sebelumnya Kementerian Luar Negeri sudah menyatakan bahwa Indonesia tidak memiliki kewajiban dan kapasitas untuk menampung para pengungsi dari Myanmar tersebut, karena Indonesia bukan bagian dari Konvensi Pengungsi 1951.
Tentang Rohingya
Etnis Rohingya merupakan minoritas Muslim di Myanmar yang menggunakan bahasa Rohingya dan memiliki kemiripan dengan bahasa Bengali. Mereka tinggal di Rakhine yang merupakan negara bagian termiskin di Myanmar.
Dilansir dari Perpustakaan.komnasperempuan, kata “Rohingya” berasal dari kata “Rohan” atau “Rohang”. Ada pula versi lain yang menyebutkan bahwa “Rohingya” disematkan oleh peneliti Inggris Francis Hamilton pada abad 18.
Etnis Rohingya memiliki sekira satu juta orang dari total 50 juta penduduk Myanmar. Saat ini sekitar 140.000 warga Rohingya tinggal di kamp konsentrasi di Rakhine dan tak bisa bebas bepergian tanpa izin pemerintah setempat.
Menurut Organisasi Nasional Rohingya Arakan (ARNO), etnis Rohingya telah bermukim di Myanmar sejak abad ke-15. Nenek moyang mereka berasal dari bangsa Arab, Moor, Pathan, Moghul, Bengali, dan beberapa orang Indo-Mongoloid.
Meskipun begitu, etnis Rohingya tidak diakui oleh pemerintah Myanmar. Hal itu bermula ketika pada 1982, pemerintah Myanmar mengeluarkan undang-undang yang menyatakan bahwa rakyatnya adalah warga yang telah menetap di negara tersebut sebelum kemerdekaan pada 1948. Dalam undang-undang itu hanya 135 etnis yang diakui.
Kelompok minoritas yang ingin secara resmi diakui harus menunjukkan dokumen sebagai bukti bahwa nenek moyang mereka hidup di Myanmar (dulu disebut Burma) sebelum 1823.
Klaim warga Rohingya yang telah bermukim sejak abad ke-15 tidak memiliki dokumentasi yang cocok untuk pemerintah dan kerap ditolak. Untuk mengatasi masalah itu, Myanmar pernah membuat rencana kontroversial pada 2014.
Pemerintah Myanmar saat itu akan memberikan kewarganegaraan bagi kaum Rohingya jika mereka mengubah etnis mereka sebagai Bangladeshi atau warga Bangladesh.
Diskriminasi karena Tidak Diakui
Karena tidak diakui, warga Rohingya kerap didiskriminasi. Mereka kerap kesulitan untuk memenuhi hak mereka memperoleh pendidikan, bekerja, bepergian, menikah, beribadah hingga mendapat layanan kesehatan.
Bahkan pada Oktober 2012, presiden Myanmar saat itu, Thein Sein meminta PBB untuk merelokasi warga Rohingya ke negara lain. “Kami akan mengurus warga kami, tapi Rohingya masuk ke Myanmar secara ilegal dan kami tak bisa menerima mereka di sini.”
Akibat diskriminasi itu, warga Rohingya melarikan diri dari Myanmar. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bahkan mengakui bahwa masyarakat Rohingya sebagai salah satu kaum minoritas yang paling teraniaya di dunia.
Pada 2012, sempat terjadi insiden pembersihan etnis Rohingya. Sebuah laporan mengatakan sedikitnya 90 orang tewas dan 3.000 rumah hancur akibat kekerasan tersebut. Pemerintah Myanmar bertindak dengan membatasi 140 ribu Rohingya dalam sebuah kamp pengungsian yang dibatasi dengan kawat berduri.
United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) atau Komisioner Tinggi PBB untuk Pengungsi mencatat sejak 2012 sebanyak 110 ribu warga Rohingya lari ke Thailand, Filipina dan Malaysia. Tiga bulan pertama 2015 bahkan pengungsi Rohingya mencapai 50 ribu orang.
ANANDA BINTANG I NABILLA AZZAHRA I SITA PLANASARI A
Pilihan Editor: Ratusan Pengungsi Rohingya Disebut Sedang Berlayar ke Indonesia