Selain mengubah nilai dasar KPK, kejahatan lainnya yang dilakukan Firli adalah memecat 57+1 pegawai KPK. Mereka dipecat setelah dinyatakan tidak lolos Tes Wawasan Kebangsaan atau TWK. Menurut Aulia Postiera, berbicara mengenai Undang-Undang KPK, tidak ada urgensi dari KPK untuk melakukan assessment ulang. Namun, kata dia, pelaksanaan TWK itu memang sengaja dilakukan untuk mendepak pegawai KPK yang vokal.
“Kami menduga orang-orang ini (57+1 pegawai KPK) sudah ditarget. Mayoritas dari kami yang dipecat adalah orang-orang yang vokal di kantor yang melawan dia ketika dia melakukan kejahatan,” kata dia.
Aulia menceritakan, satu bulan setelah pemecatan massal pegawai KPK itu, satu orang dari temannya meninggal dunia. Namanya Nanang Priyono. Menurutnya, almarhum adalah orang yang baik dan bukan orang yang vokal juga. Dia bekerja di biro Sumber Daya Manusia atau SDM yang memproses alih tugas menjadi pegawai negeri. Pegawai tersebut sangat terpukul ketika masuk ke dalam kelompok 57+1. Hal itu membuat kesehatannya menurun hingga meninggal.
“Tak taulah penyebab apa, takdir Allah, tapi ada andil orang ini (Firli) atas hancurnya psikologs teman kita itu,” kata Aulia.
Aulia Postiera eks penyelidik KPK. Foto: Istimewa
Aulia juga menceritakan soal 57+1 pegawai KPK yang masuk daftar hitam, disebut merah, dan tak bisa dibina. Ungkapan itu disampaikan Wakil Ketua KPK Alexander Marwata saat konferensi pers. Bagi Aulia, pernyataan itu adalah penghinaan terbesar bagi mereka selaku WNI yang bertugas menegakkan hukum dan memberantas korupsi. Menurutnya, orang yang dicap merah kudu dicabut identitasnya sebagai seorang warga negara dan tak layak tinggal di Indonesia.
“Bayangkan, sudah merah itu seharusnya negara sudah mencabut KTP kami, mencabut paspor kami, kami tidak layak hidup di negeri ini. Kejahatan apa (yang kami lakukan) dengan hukuman seperti itu pak?” kata Aulia Postiera kepada Abraham Samad.
Aulia juga menyebut, kejahatan yang dilakukan Firli berupa pemerasan terhadap SYL adalah kejahatan korupsi tingkat tertinggi. Dia menjelaskannya, ada tiga klaster kejahatan korupsi terkait penerimaan dan pemberian. Yang terendah adalah gratifikasi, kemudian suap yang berupa kesepakatan atau negosiasi, dan tertinggi pemerasan dari orang yang punya kewenangan kepada orang yang lemah.
“Menurut saya itu benar-benar kejahatan yang levelnya lebih tinggi dari pada suap. Karena orang yang bisa memeras itu pasti orang yang punya kewenangan dan orang yang diperas dalam posisi terpaksa, tidak berdaya,” ujarnya.
Abraham menganalogikan tindakan Firli seperti pencuri yang masuk ke dalam masjid dan mengambil kota amal. Lantaran, Ketua KPK itu melakukan tindakan korupsi di lembaga anti-korupsi. Menurut Aulia, kejahatan yang dilakukan Firli malah lebih kejam karena mencuri di tempat ibadah. Pasalnya, dia adalah ketua KPK yang seharusnya bertugas memberantas korupsi. Namun kewenangan itu justru digunakannya untuk memeras.
“Pencuri mungkin mencuri karena kebutuhan, karena keterpaksaan ekonomi, ada faktor negara yang gagal memberikan pekerjaan kepada mereka. Tapi ketua KPK dengan segala fasilitas yang diberikan negara kepada dia, gaji besar, kewenangan besar, dia masih melakukan kejahatan dengan memeras orang yang seharusnya dia proses secara hukum, itu menurut saya lebih jahat pak,” katanya.
Selanjutnya: Dugaan pemerasan Firli Bahuri, oknum komisioner KPK Lain terlibat?