TEMPO.CO, Jakarta - Pemohon dalam Perkara Mahkamah Konstitusi Nomor 12/PUU-XXII/2024, Ahmad Alfarizy dan Nur Fauzi Ramadhan, menilai pernyataan Ketua KPU RI sebagai desain baru untuk mengamankan kedudukan calon legislatif atau caleg terpilih dalam pemilu yang menjadi peserta Pilkada 2024.
Diketahui, Ketua KPU RI Hasyim Asy'ari mengatakan bahwa caleg terpilih yang menjadi peserta pilkada tidak wajib mundur dari jabatannya. Dia juga menyatakan bahwa akan dilakukan pelantikan susulan bagi caleg terpilih yang gagal dalam Pilkada.
“Sebagai Pemohon Perkara di MK dengan Nomor 12/PUU-XXII/2024, kami sudah menegaskan bahwa perlunya pengaturan pengunduran diri tersebut adalah untuk menjamin agar Pemilu 2024 tidak menjadi arena pragmatis saja untuk mengamankan jabatan legislatif,” kata Ahmad dalam keterangan resmi, Jumat, 10 Mei 2024.
Sebelumnya, Pemohon mengklaim bahwa salah satu agenda memajukan Pilkada ke bulan September adalah untuk mengamankan posisi caleg terpilih yang menjadi peserta pilkada agar tidak perlu mundur dari jabatannya.
“Dengan dalil tersebut, mahkamah dalam pertimbangan hukum Putusan 12/PUU-XXII/2024 paragraf 3.13.3 mengakomodasi dengan melarang pemajuan jadwal Pilkada ke bulan September,” tuturnya.
Namun, MK juga menegaskan bahwa KPU perlu mempersyaratkan surat pernyataan bersedia mengundurkan diri jika telah dilantik kepada caleg terpilih yang menjadi peserta pilkada. “Ketentuan tersebut tentu tidak lahir begitu saja. Kami sebagai Pemohon perkara tersebut memahami betul suasana kebatinan dan alur berpikir Mahkamah terkait hal ini,” kata dia.
Akal-akalan Ketua KPU
Mirisnya, kata Pemohon, Hasyim Asy’ari malah mempreteli frasa “jika telah dilantik”, dengan cara mengundur waktu pelantikan dan menunggu hasil pilkada. Hal ini seakan membuat plan b atau rencana cadangan, untuk caleg terpilih yang gagal dalam pilkada.
Adapun Hasyim mendasarkan hal tersebut dengan menyatakan tidak adanya ketentuan kewajiban pelantikan secara serentak. Hasyim juga mempertegas bahwa tidak ada larangan untuk dilantik belakangan atau usai kalah dalam pilkada.
“Hal ini tentu menunjukkan bahwa Ketua KPU terkesan memaksa untuk mengafirmasi kepentingan para caleg terpilih agar tidak perlu mundur dan bisa ikut dilantik ketika kalah dalam kontestasi pilkada, bahkan dengan jalan mengundur atau menunda pelantikannya,” kata dia.
Padahal, justru KPU sendiri yang sudah menetapkan jadwal pelantikan caleg terpilih berdasarkan Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2022, di mana pelantikan anggota DPR dan DPD hasil Pemilu 2024 akan dilakukan secara serentak pada 1 Oktober 2024.
“Melantik caleg terpilih setelah kalah dalam Pilkada jelas adalah bentuk KPU mempermainkan aturan yang mereka buat sendiri, membangkangi perintah MK, bahkan mengindikasikan ‘pesanan’ yang sejak awal sudah didesain karena gagalnya rencana pemajuan jadwal Pilkada,” ujar Ahmad.
Menurut dia, Hasyim yang telah berulang kali disanksi DKPP itu seakan mengakali parpol untuk menghindari jadwal pelantikan. “Perlu diingat bahwa hal ini menjadi kali kesekian sikap Ketua KPU yang menjadi simbol penyelenggara Pemilu menunjukkan gelagat mengafirmasi kepentingan dari peserta Pemilu/Pilkada,” ucapnya.