TEMPO.CO, Jakarta - Koalisi Masyarakat Sipil mendesak Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo agar mengevaluasi tata kelola penggunaan gas air mata. Ini berkaca dari kasus bentrokan di Pulau Rempang saat warga memprotes penggusuran untuk Proyek Startagies Nasional (PSN) Rempang Eco-City.
Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Riau, Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Indonesia Corruption Watch (ICW), dan Trend Asia mengecam aksi kekerasan dan tindakan represif aparat terhadap masyarakat adat Pulau Rempang.
“Kapolri harus menghentikan pembelian amunisi gas air mata sampai ada evaluasi dan perbaikan mengenai tata kelola penggunaan gas air mata,” kata Nisa Rizkiah, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) dalam siaran pers, Kamis, 14 September 2023.
Selain itu, Koalisi Masyarakat Sipil juga mendesak Presiden Joko Widodo sebagai panglima tertinggi Polri agar sehera memerintahkan Kapolri menghentikan pendekatan kekerasan saat melakukan penanganan massa. DPR juga harus segera memanggil Kapolri untuk dimintai pertanggungjawaban atas sejumlah peristiwa yang berkaitan dengan penggunaan gas air mata.
“Badan Pemeriksa Keuangan harus melakukan Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (PDTT) terhadap pembelian gas air mata yang dilakukan oleh kepolisian sejak tahun 2013 hingga 2023,” kata Nisa Rizkiah.
Koalisi Masyarakat Sipil menilai ambisi berlebih untuk mendorong investasi melalui pendekatan developmentalism pemerintahan Presiden Joko Widodo kembali menimbulkan konflik. Kasus yang terjadi di Pulau Rempang pada kamis pekan lalu, 7 September 2023, kata Koalisi, semakin menambah panjang penggunaan kekuasaan secara berlebih untuk merepresi masyarakat yang menolak proyek pemerintah.
Pembangunan kawasan Rempang Eco-City di tanah seluas 17 ribu hektare ini diproyeksikan oleh pemerintah sebagai proyek strategi nasional melalui Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 7 Tahun 2023 tentang Perubahan Daftar PSN, yang baru disahkan pada 28 Agustus 2023 lalu.
Namun demi menjalankan proyek tersebut, pemerintah akan menggusur seluruh penduduk Rempang yang terdiri dari kurang lebih 10 ribu jiwa. Akan tetapi seperti halnya proyek strategi nasional lainnya, pemerintah dianggap tidak mengajak warga, terutama masyarakat adat yang berada di lokasi proyek dan telah lama mendiami tanah untuk berdialog membahas mengenai pembangunan tersebut.
“Alih-alih memberikan rasa aman melalui pendekatan yang sesuai dengan prosedur pengendalian massa, polisi yang bertugas justru berkali-kali menembakkan gas air mata dengan tujuan untuk membubarkan massa,” kata Arif Maulana, Wakil Ketua Bidang Advokasi YLBHI.
Akibat tindakan tersebut, sejumlah warga mengalami luka-luka. Bahkan, beberapa pelajar juga terkena gas air mata yang mengarah sekolah, sehingga beberapa pelajar di antaranya mengalami gangguan penglihatan. Arief mengatakan tindakan kepolisian tersebut sudah sepatutnya dikecam mengingat mereka telah menyalahi ketentuan mengenai penggunaan gas air mata.
Merujuk pada Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian, Arief mengatakan disebut dengan jelas bahwa penggunaan senjata api atau senjata kimia, yang termasuk di dalamnya gas air mata, harus menjadi opsi terakhir jika situasi dianggap menimbulkan kekacauan. “Peristiwa tersebut semakin menegaskan bahwa kultur kekerasan memang tidak dapat dilepaskan dari institusi Polri dan jargon polisi humanis hanya lip service belaka,” ujarnya.
Pilihan Editor: PPATK: Perputaran Uang Sindikat Narkoba Fredy Pratama Capai Rp51 Triliun Sejak 2013