TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Bidang Ideologi dan Kaderisasi Partai Buruh, Adityo Fajar buka suara soal masalah polusi udara yang terus menghantui masyarakat Indonesia dalam beberapa waktu belakangan ini. Dia pun menyoroti soal para pengusaha batu bara di lingkaran Presiden Jokowi.
Fajar menyatakan masalah polusi udara saat ini sejatinya tak hanya dialami di Jakarta atau Indonesia saja, melainkan sudah menjadi isu global. Dia pun mempertanyakan soal imbauan Pemerintah DKI Jakarta yang ingin memberlakukan skema Work From Home (WFH) untuk menekan polusi udara.
Dia menilai hal itu bukanlah solusi. Fajar menilai masalah polusi udara di Jakarta tak terelakkan menyibak persoalan yang lebih genting terkait emisi karbon. Diketahui emisi karbon menjadi salah satu kontributor utama perubahan iklim global, selain emisi gas rumah kaca.
"Ini masalah besar, bukan hanya Jakarta. Ini isu global. Pertanyaannya, siapakah gerangan kontributor polutan udara paling besar? Siapa yang penganggu kelestarian dan keberlangsungan planet tempat kita tinggal?" kata Fajar melalui keterangan tertulis yang diterima Tempo, Selasa, 22 Agustus 2023.
Fajar menilai polusi udara yang terjadi saat ini tak lepas dari peran para taipan batu bara nasional yang sebagian besar berada di lingkaran Presiden Jokowi. Hal itu, menurut dia, terlihat dalam laporan Project Multatuli pada Februari tahun lalu. Laporan itu berjudul, "Profil & Peta Koneksi Bisnis dan Politik 10 Oligarki Batubara Terbesar di Indonesia di bawah Pemerintahan Jokowi".
Laporan itu menyebutkan bisnis batubara berkontribusi besar pada masalah emisi karbon di Indonesia. Batubara digunakan di dalam negeri untuk menghidupkan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dan mendorong laju industri.
"Berdasar laporan Project Multatuli, hingga 2021, ada 66 perusahaan batubara beroperasi dengan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) dan 1.162 perusahaan dengan izin usaha pertambangan (IUP). Bila memakai perhitungan Badan Administrasi Informasi Energi (EIA) Amerika Serikat, setiap juta ton batubara yang dibakar bisa menghasilkan emisi hingga 3,17 juta ton CO2. Maka, tambahan emisi Indonesia pada 2021 dari PLTU saja dapat mencapai 358 juta ton CO2," kata dia.
Ada nama Erick Thohir, Sandiaga Uno hingga Luhut Binsar Pandjaitan
Masih menurut laporan Project Multatuli, Fajar menyatakan bisnis batu bara ini dikuasai setidaknya delapan oligarki yang sebagian diantaranya berada di lingkaran Jokowi. Mereka adalah: Aburizal Bakrie, Fuganto Widjaja, Sandiaga Uno, Edwin Soeryadjaya, Garibaldi “Boy” Thohir, Erick Thohir, Agus Lasmono, dan Low Tuck Kwong.
Selain itu, menurut Fajar, laporan itu juga menuliskan pebisnis batu bara yang jumlah produksi perusahaannya sebenarnya relatif kecil, tapi memiliki posisi di pemerintahan. Misalnya Prabowo Subianto dan Luhut Binsar Pandjaitan. Selain itu ada juga nama Airlangga Hartarto, Surya Paloh, dan Hary Tanoesoedibjo, ketua umum tiga partai politik yang mendukung pemerintahan Jokowi.
"Nama-nama mereka terbilang populer dan memiliki relasi dengan struktur kekuasaan politik hari ini. Lebih jauh dari itu, nama-nama ini juga terkoneksi secara langsung maupun tidak langsung dengan proses kandidasi capres dan cawapres. Artinya, menurut dia, bos-bos batu bara merupakan aktor penting dalam proses suksesi politik di Indonesia," kata Fajar.
Laporan dari Project Multatuli itu, menurut Fajar, pun sempat digaungkan secara lebih besar oleh lembaga nirlaba yang berfokus pada pembangunan penanggulangan bencana dan advokasi, Oxfam.
Pada November tahun lalu, Oxfam menulis laporan bertajuk Carbon Billionaires: The investment emissions of the world’s richest people itu, Oxfam menuding kalangan miliarder lah biang keladinya. Investasi dari hanya 125 miliarder terbesar di dunia, menurut laporan itu, memancarkan 393 juta ton CO2e setiap tahun.
Taipan-taipan ini, masih menurut laporan tersebut, menghasilkan 70 persen emisi karbon di dunia dari investasi mereka di berbagai jenis industri. Angka pencemaran yang mereka hasilkan kemungkinan masih lebih tinggi, karena terdapat miliarder dan perusahaan yang tidak mengungkapkan emisi mereka secara terbuka, sehingga tidak dapat dimasukkan dalam penelitian,
"Sementara kita mendapatkan kerusakan pernapasan, mereka meraup laba gila-gilaan", ujar Fajar.
Selanjutnya, singgung penggunaan batu bara untuk PLTU yang membahayakan kesehatan