Berikut sejumlah pasal yang dinilai bermasalah, seperti dalam kajian Aliansi Rakyat Bergerak, Rapat Rakyat: Mosi Parlemen Jalanan.
1. Pasal 33
Pasal ini mengubah Pasal 30 UU Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani yang melarang kegiatan impor kecuali dalam kondisi tertentu. Dalam Pasal 33 ini disebutkan kecukupan kebutuhan konsumsi dan atau cadangan pangan pemerintah berasal dari produksi dalam negeri dan melalui impor.
“Omnibus law mendorong liberalisasi impor secara terang-terangan,” tulis kajian tersebut.
2. Pasal 66
Pasal ini memuat perubahan definisi ketersediaan pangan pada Pasal 1 Ayat 7 UU Pangan Nomor 18 tahun 2012. Pada RUU Cipta Kerja, ketersediaan pangan adalah kondisi tersedianya pangan dari hasil produksi dalam negeri, cadangan pangan nasional, dan impor pangan.
Padahal sebelumnya ketentuan impor hanya diperbolehkan bila hasil produksi dan cadangan nasional tak bisa memenuhi kebutuhan. Pasal ini juga mengubah Pasal 14 UU Pangan untuk mendukung penuh posisi impor yang disetarakan dengan produksi dalam negeri.
3. Pasal 89
Pasal ini mengubah ketentuan Pasal 59, Pasal 88, Pasal 90, Pasal 93, dan Pasal 151 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
• Penghapusan Pasal 59 UU Ketenagakerjaan
Dengan dihapusnya Pasal 59 terkait pekerja kontrak untuk waktu tertentu atau PKWT, artinya tidak ada batasan kapan kontrak akan selesai. Membuat pelaku usaha terus-terusan memakai pegawai kontrak. “Ada kaitan dengan job insecurity atau ketidakpastian kerja,” tulis kajian itu.
• Perubahan Pasal 88
Lalu perubahan pada Pasal 88, menurut kajian, telah menghilangkan peran serikat pekerja dalam penentuan upah. Misalnya, klausul pasal 88B mengatur pemberian upah kepada pekerja berdasarkan aturan waktu dan atau satuan hasil. Hal ini dapat dimanfaatkan oleh pengusaha untuk memberikan upah yang minim.
Selanjutnya pada pasal 88D, penghitungan kenaikan upah minimum tidak lagi berlaku secara nasional. Tapi menggunakan standar UMP, yakni formula kenaikan ditentukan oleh pertumbuhan ekonomi daerah. Apabila suatu daerah mengalami pertumbuhan ekonomi negatif, maka tahun berikutnya upah minimum bisa turun.
“Sekali lagi berbahaya bagi daya beli masyarakat dan buruh pada umumnya,” tulis kajian tersebut.
• Penghapusan Pasal 90
Pasal 90 UU Ketenagakerjaan dihapus pada RUU Cipta Kerja. Padahal klausul ini mencantumkan sanksi bagi pengusaha yang melanggar ketentuan upah minimum. Lalu perubahan pada Pasal 151 UU Ketenagakerjaan juga akan menghilangkan peran serikat buruh dalam melakukan negosiasi pemutusan hubungan kerja atau PHK dengan pihak perusahaan.
• Perubahan Pasal 93
Pasal 93 terkait ketentuan cuti khusus atau izin juga diubah dalam Pasal 89 RUU tersebut. Di antara perubahan itu adalah menghapus cuti khusus atau izin tak masuk saat haid hari pertama bagi perempuan. RUU “sapu jagat” ini juga menghapus izin atau cuti khusus untuk keperluan menikah, menikahkan, mengkhitankan, membaptiskan anaknya, istri melahirkan/keguguran kandungan, hingga adanya anggota keluarga dalam satu rumah yang meninggal dunia.
Selanjutnya: Pasal soal praktek monopoli