TEMPO.CO, Jakarta - Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto mengkritik manuver elite politik partai yang tidak mengindahkan tahapan yang sudah ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hasto mempertanyakan, untuk apa ada KPU kalau tahapan Pemilu Presiden tidak ditaati.
"Hanya karena ambisi untuk mendapatkan coat-tail effect (efek ekor jas). Nah, ini yang harus kita pahami," kata Hasto usai PKS mendeklarasikan Anies Baswedan sebagai bakal calon presiden 2024, Kamis, 23 Februari 2023. Beda dengan PKS, PDIP sejauh ini memang belum juga mengumumkan Calon Presiden mereka sekalipun bisa mengusung sendirian tanpa koalisi.
Presiden PKS Ahmad Syaikhu tidak mau menanggapi komentar Hasto tersebut. "Sebagai bagian dari demokrasi sah-sah saja, tapi kami PKS, deklarasi ini momentum penting," kata dia.
Lalu, apa arti efek ekor jas dan darimana asal-muasalnya? Berikut rangkumannya.
Kajian ilmiah pada Pemilu di AS
Menukil laman Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC), efek ekor jas (EEJ) dapat disimpulkan sebagai adanya hubungan positif antara kekuatan elektoral seorang calon presiden (capres) dan partai yang mengusungnya.
Artinya, jika seorang capres populer dengan tingkat elektabilitas yang tinggi, maka akan memberikan keuntungan positif secara elektoral kepada partai yang mengusungnya sebagai capres.
Namun sebaliknya, tulis SMRC, jika seorang capres tidak populer dengan tingkat elektabilitas yang rendah, maka akan memberikan dampak negatif kepada perolehan suara partai yang mengajukan dia sebagai capres.
Kajian ilmiah EEJ itu didasarkan pada penelitian pemilu serentak dalam sistem presidensial dua partai di Amerika Serikat (AS). Sebagai ilustrasi, kemenangan telak Partai Demokrat, baik di DPR maupun Senat AS, pada Pemilu 2008 antara lain akibat tingginya popularitas dan elektabilitas Barack Obama yang juga memenangi kursi kepresidenan.
Sebaliknya, kekalahan telak Partai Republik, baik di DPR maupun Senat AS, pada pemilu itu antara lain diakibatkan rendahnya popularitas dan penerimaan masyarakat AS terhadap George W Bush yang diusung partai tersebut pada pemilu sebelumnya.
Akibat adanya EEJ ini, di setiap pemilu AS yang berlangsung setiap dua tahun (untuk DPR dan Senat) selalu ada fenomena calon anggota DPR atau Senat yang ramai-ramai mengasosiasikan dirinya dengan capres yang populer.
Begitu pula sebaliknya, terjadi fenomena calon anggota DPR atau Senat yang ramai-ramai menjauhkan dirinya dari seorang capres yang tidak populer atau tidak disukai masyarakat ketika Pemilu akan berlangsung.
Selanjutnya: Efek ekor jas pemilu di Indonesia...