INFO NASIONAL - Asisten I Provinsi Nusa Tenggara Barat, Madani Makarim, menceritakan tentang 403 pulau dengan status wilayah administratif di pulau-pulau kecil di Nusa Tenggara Barat. Beragam masalah dihadapi warga yang tinggal di pulau-pulau kecil tersebut, seperti aksesibilitas, kerusakan ekosistem seperti terumbu karang, mangrove, problem sampah di laut dan abrasi pantai.
Masyarakat di pulau-pulau kecil juga kesulitan mendapatkan layanan pendidikan, kesehatan, pasokan listrik dan air bersih.
Dari sekelompok masalah itu, ihwal stunting di sektor kesehatan menjadi tantangan besar. Target yang harus dicapai pemerintah provinsi sebanyak 477.430 orang, namun yang terjangkau baru 81.015 orang atau 16,9 persen.
Hal ini terjadi karena pendapatan asli daerah NTB masih rendah sekitar 34,41 persen, sementara untuk mengatasi stunting maka pemprov harus menguatkan posyandu, puskesmas, rumah sakit, serta fasilitas ambulans kapal laut yang dapat menjangkau pulau-pulau.
"Artinya, kami masih sangat tergantung pada dana transfer dari pemerintah pusat," kata Madani.
Masalahnya, kata dia, DAU untuk provinsi kepulauan seperti NTB faktanya lebih rendah dibandingkan dana yang ditransfer untuk wilayah daratan. Menurut Madani, dengan anggaran minim akan daerah kepulauan akan mengalami kesulitan mengatasi berbagai problem tersebut.
Kekurangan anggaran juga menyulitkan pemerintah provinsi daerah kepulauan menjaga wilayahnya. Contoh ancaman terbesar yakni pencurian ikan atau illegal fishing.
"Kami di kabupaten hanya menjadi penonton ketika ikan-ikan ditangkapi dan lingkungan menjadi rusak," kata Wakil Bupati Konawe Kepulauan Andi Muhammad Lutfi.
Musababnya, pemerintah kabupaten tak lagi memiliki kewenangan dalam mengelola kawasan perairan dan tidak memiliki anggarannya. "Di depan kami terjadi pencurian ikan dan pemboman. Produksi ikan bukan turun, tetapi hancur. Nelayan kami harus mencari ikan lebih jauh lagi dengan biaya yang lebih besar ketimbang pendapatannya,” ucap Lutfi.
Dewan Pakar Asosiasi Pemerintah Daerah Kepulauan dan Pesisir (Aspeksindo) Rokhmin Dahuri, mengatakan daerah kepulauan akan terus melarat apabila pemerintah pusat tetap menghitung alokasi anggaran berdasarkan jumlah penduduk dan luas daratan. "Tanpa RUU Daerah Kepulauan, maka alokasi APBN akan terus-menerus ke daerah daratan, yakni Jawa,” ujarnya.
Senada, Ali Mazi mengatakan apabila RUU Daerah Kepulauan ini disahkan, maka daerah berciri kepulauan akan mampu memetakan, mengelola, dan mengoptimalkan sumber daya hayati di wilayah masing-masing. Terlebih, potensi daerah kepulauan tidak kalah dengan daerah yang didominasi daratan.
“Ada hasil laut, tambang, gas, kehutanan, dan sebagainya. Namun karena pembagian ini tidak merata, kami tetap miskin,” kata Ali Mazi yang juga Gubernur Sulawesi Tenggara.
Adapun pokok-pokok RUU Daerah Kepulauan memuat lima hal penting. Pertama, menjamin kepastian hukum dalam mengelola potensi daerah bagi pemerintah daerah kepulauan; kedua, menghormati kesetaraan antara daerah berciri kepulauan dengan daerah berciri daratan; ketiga, mewujudkan pembangunan daerah kepulauan yang berkeadilan. Keempat, mendorong pertumbuhan ekonomi; dan kelima, meningkatkan kesejahteraan rakyat secara berkelanjutan.
Dalam mewujudkan tujuan RUU Daerah Kepulauan tadi, Ali Mazi menjelaskan, ada tujuh sektor yang perlu diperkuat, yakni sektor kelautan dan perikanan, sektor perhubungan atau konektivitas dan sektor energi dan sumber daya mineral. Kemudian sektor pendidikan tinggi, sektor kesehatan, sektor perdagangan antar-pulau dalam skala besar, dan sektor ketenagakerjaan.
Maka sebagai ketua BKS Daerah Kepulauan, Ali Mazi menegaskan akan berjuang sekuat tenaga demi hadirnya keadilan melalui pengesahan RUU Daerah Kepulauan menjadi undang-undang. "Kami tidak meminta otonomi daerah, melainkan perlakuan yang sama antara daerah berciri kepulauan dengan daerah berciri daratan," kata dia. (*)