TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM mengadopsi usulan Komisi Hukum DPR dan kelompok masyarakat sipil untuk memasukkan pasal mengenai rekayasa kasus dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Pemerintah mengakomodasi pasal ini dengan mereformulasi pasal 278-280 draf RKUHP 24 November 2022.
Pasal 278 draf RKUHP berisi 3 ayat. Pasal ini mengatur hukuman pidana bagi setiap orang yang menyesatkan proses peradilan dengan pidana paling lama enam tahun atau pidana denda paling banyak kategori V.
Salah satu poin dalam pasal ini menyebutkan bahwa perbuatan penyesatan proses peradilan di antaranya memalsukan, membuat, atau mengajukan bukti palsu untuk dipergunakan dalam proses peradilan. Selain itu, setiap orang yang mengubah, merusak, menyembunyikan, menghilangkan, atau menghancurkan alat bukti juga bisa dipidana.
Reformulasi pasal ini diapresiasi oleh anggota DPR Komisi Hukum. Anggota DPR Frraksi Partai Demokrat, Hinca Panjaitan, mengucapkan terima kasih kepada pemerintah karena telah mengakomodasi masukan ini.
Baca: Desakan Penundaan Pengesahan RKUHP, DPR: Kalau Presiden Nolak, Minta Menterinya Tak Usah Datang
“Kami menghargai betul pemerintah bisa masukkan ini, karena ini juga suara masyarakat,” kata Hinca dalam rapat bersama pemerintah, Kamis, 24 November 2022.
Setali tiga uang dengan Hinca, anggota DPR Fraksi Partai NasDem, Taufik Basari, turut mengapresiasi reformulasi ini. “Pasal rekayasa kasus diakomodasi, kami ucapkan terima kasih,” kata dia.
Sebelumnya anggota Komisi Hukum DPR mengusulkan penambahan pasal yang mengatur tindak pidana rekayasa kasus dalam RKUHP. Anggota Komisi Hukum Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Arsul Sani, menyebut komisinya telah menerima banyak masukan dari berbagai elemen masyarakat soal rekayasa kasus.
“Mungkin ada satu sampai dua pasal tindak pidana baru. Jadi ini kira-kira saya tidak tahu persis tapi mungkin jadi bagian dari bab atau sub bab di bawah obstruction of justice,” kata Arsul dalam rapat kerja bersama Kemenkumham, Rabu, 9 November 2022.
Arsul mencontohkan banyaknya tindak pidana narkotika yang kerap direkayasa. “Sering terjadi tindak pidana narkotika tapi ditaruh di mana, ini untuk mengcover, untuk memastikan bahwa penegakan hukum kita adil dan tidak dibuat-buat,” ujarnya.
Senada dengan Arsul, anggota DPR Komisi Hukum Fraksi Partai NasDem, Taufik Basari, mengusulkan penambahan pasal soal rekayasa kasus berkaca dari pengalaman sebelumnya. Menurut dia, tindakan fabrikasi bukti harus dipidana.
“Kami usulkan ada (pasal) fabrikasi bukti di mana ketika ada orang yang memasukkan bukti, membuat bukti-bukti palsu yang digunakan dalam proses pengadilan, maka itulah yag dimaksud rekayasa kasus dan harus dipidana,” kata dia.
Anggota DPR Komisi Hukum Fraksi Partai Demokrat, Hinca Panjaitan, menilai penyidik di Indonesia punya power penuh yang mesti dikontrol. Menurut dia, pasal soal rekayasa kasus ini merupakan upaya untuk mengontrol power yang terlalu besar di tangan penyidik.
“Penyidik kita yang puya power penuh harus dikontrol, power must be controlled by another power. Kita sering sampaikan setajam-tajamnya pistol peluru polisi, lebih tajam pulpennya. Mau jadi apa ini barang, ini pengalaman yang panjang,” kata dia.
Adapun DPR Komisi Hukum bersama pemerintah menggelar rapat dengan agenda penyempurnaan draf RKUHP hari ini. Pemerintah telah merangkum daftar inventarisasi masalah (DIM) tiap fraksi yang diserahkan, sehingga ada 23 poin yang dibahas.
Rapat membahas RKUHP sebelumnya digelar pada 9 November 2022 lalu. Wakil Menteri Hukum dan HAM, Edward Omar Sharif Hiariej, menyebut di draf RKUHP 24 November 2022 tidak ada penambahan pasal, melainkan reformulasi dan penyesuaian definisi.
“Bahwa dialog publik setelah dilakukan di 11 kota (RKUHP) masih tetap sama 627 pasal dari yang sebelumnya 632,” kata Edward.
Baca: Draf Final RKUHP Dibahas Hari Ini, Komisi Hukum DPR Dorong Sejumlah Pasal Direvisi
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.