Meski demikian, Hendro menyebut tentara yang sudah purnawirawan tetaplah harus memberi warna di mana pun dirinya berada. Tak terkecuali di partai politik. "Kita dikasih pelajaran 33 tahun minimal berada di kehidupan sebagai tentara, masa enggak ada bekasnya?" kata dia.
Menurut Hendro, keterlibatan bekas tentara di partai politik ini dilatarbelakangi sejumlah kondisi. Pertama, Indonesia sepakat untuk menjadi negara demokrasi dengan pilar utama partai politik.
Memang ada negara yang memilih untuk tidak menjadi demokratis seperti Korea Utara, yang kemudian melahirkan strong government (pemerintahan kuat) dan weak people (rakyat lemah). Tapi ketika demokrasi yang dipilih suatu negara, kata dia, maka lahirlah weak government (pemerintahan lemah) dan strong people (rakyat kuat).
"Untuk strong people bagaimana? kalau partai politik babak belur begini, kan bahaya. Jadi itu sebabnya perlu kita para sipil bekas tentara cepat masuk (partai politik)," ujarnya, tanpa merinci lagi maksud babak belur tersebut.
Kedua, keterlibatan bekas tentara di partai politik berkaitan dengan ancaman yang dihadapi Indonesia, seperti imperialisme dan radikalisme. Hendro menyebut partai politik memang masih berada di jalur yang benar karena tidak ada yang memegang prinsip di luar pancasila.
"Ada juga Pancasila, Islamisme," ujarnya. Hendro tak mempermasalahkan itu karena menurut dia Pancasila merupakan ideologi yang terbuka. Ketika Pancasila terbuka pada kapitalisme, maka seharusnya juga bisa terbuka terhadap islamime.
Tapi menjelang 2024, Ia tak ingin prinsip islamisme kebablasan menjadi radikalisme. Ia juga meminta agar prinsip kapitalisme tidak lari menjadi imperialisme. Upaya menjaga prinsi atau bandul inilah, kata Hendro, yang bisa dilakukan bekas tentara di partai politik. "Jangan sampai kebablasan," ujarnya.
Bekas tentara harus bisa terus menjaga prinsip-prinsip nasionalisme dan Pancasila. Menjadi orang yang beragama, kata dia, sangat sesuai dengan prinsip Pancasila. "Tapi jangan karena agama yang kita yakini, terus kita enggak ada kemanusiaan, penggain aja yang bukan segama, itu kan enggak benar," ujar Hendro.
"Itulah perlunya purnawirawan berada di partai politik secepat mungkin, karena ini sudah mau maen gitu di 2024," kata dia.
Di sisi lain, isu soal radikalisme menjelang 2024 juga sempat diungkap oleh Kepala Staf Presiden Moeldoko. Ia menyebutkan soal potensi meningkatnya radikalisme menjelang Pemilu Serentak 2024, mengutip survei yang dilakukan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme atau BNPT pada 2020.
Survei ini menyebutkan potensi radikalime mencapai 14 persen pada 2020. Menurut Mantan Panglima TNI ini, potensi tersebut adalah data dalam kondisi anomali saat pandemi.
"Tahun politik 2023-2024 ke depan, ada kecenderungan akan meningkat," kata dia di Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis, 20 November 2022.
Moeldoko menyebut kenaikan potensi radikalisme tersebut terjadi akibat politik identitas menjelang pemilu. Sehingga, Ia menyebut pemerintah perlu waspada dengan potensi di tahun politik tersebut.
Meski demikian, Moeldoko enggan merinci identitas kelompok yang berpotensi menggerakan radikalisme. Ia menyerahkan urusan tersebut kepada BNPT.
Sebab, BNPT tentu memiliki standar untuk menentukan seseorang atau kelompok terpapar radikalisme atau tidak. "Stigma radikalime itu apakah buatan versi pemerintah, apa kenyatannya tidak seperti itu, saya serahkan untuk tanya BNPT," kata dia.
Baca juga: Prabowo Subianto Kumpulkan Purnawirawan TNI, Ini Daftar yang Hadir