INFO NASIONAL - Pemerintah selalu memenuhi kewajiban dalam membayar pokok dan bunga utang tepat waktu serta sesuai dengan Undang-undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (UU APBN). Kemampuan bayar Pemerintah atas kewajiban utang ini menjadi prioritas untuk menjaga kredibilitas.
Pembayaran bunga utang tahun ini dipengaruhi outstanding utang tahun sebelumnya serta penambahan outstanding utang tahun 2022, termasuk di dalamnya penambahan dalam menangani dampak pandemi Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Pembiayaan utang yang meningkat merupakan bagian dari kebijakan counter-cyclical yang sesungguhnya telah dirasakan manfaatnya oleh masyarakat selama ini. Terlebih di masa pandemi, butuh dukungan anggaran yang besar untuk penanganan kesehatan, bantuan sosial, subsidi, maupun dukungan bagi dunia usaha.
Kebijakan yang bersifat countercyclical (kebijakan proaktif untuk melawan tren penurunan) ini diambil untuk mempertahankan momentum pertumbuhan ekonomi di saat kondisi perekonomian melemah. Oleh karena itu, penggunaan utang sebagai salah satu sumber pembiayaan tidak terlepas dari kebijakan defisit APBN yang diambil Pemerintah untuk tujuan countercyclical. Kegiatan perekonomian masyarakat di pasar tradisional tetap berjalan selama pandemi Covid-19.
Melalui upaya pengendalian utang, defisit APBN terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) selama pandemi berhasil ditekan di bawah target semula. Pada tahun 2020 misalnya, defisit APBN terhadap PDB menjadi 6,1 persen (dari target sebesar 6,3 persen). Angka ini terus turun menjadi 4,6 persen di 2021 dan lebih kecil dari target APBN sebesar 5,7 persen. Berdasarkan outlook Laporan Semester I 2022, defisit APBN hingga saat ini pun menunjukkan tren penurunan, yaitu menjadi berkisar 3,92 persen berdasarkan outlook laporan Semester I 2022 (dari target 4,85 persen).
Sementara secara global, hampir semua negara mengambil kebijakan melebarkan defisit untuk menjaga ekonominya selama pandemi. Sebagai konsekuensinya, rasio utang terhadap PDB berbagai negara pun meningkat.
Dibandingkan dengan negara lain, kenaikan rasio utang di Indonesia periode 2020-2021 yang mencapai 10,8 persen itu masih relatif rendah. Pada periode yang sama, Thailand mengalami kenaikan rasio utang terhadap PDB sebesar 17 persen, Filipina 22,1 persen, China 11,8 persen, Malaysia 13,6 persen, dan India bertambah sebesar 16,5 persen terhadap PDB masing-masing negara.
Upaya pemerintah pada instrumen fiskal terus diakselerasi untuk mendukung pemulihan ekonomi dan agar rasio utang terhadap PDB dapat perlahan turun dan tentu diharapkan akan berdampak pada penurunan bunga utang kedepannya, seperti pertama, peningkatan pendapatan negara dilanjutkan dengan reformasi struktural melalui penetapan Undang-Undang UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Kedua, pada sisi belanja negara, Pemerintah konsisten menerapkan spending better dengan melanjutkan proses realokasi dan refocusing anggaran. ketiga, pemenuhan pembiayaan dari sumber dengan risiko dan cost of fund yang rendah.
Pengelolaan fiskal yang hati-hati dan kredibel membuat outlook kinerja fiskal memberikan sinyal positif. Hasil yang positif itu terlihat pada penerimaan dan belanja negara, khususnya pada 2021. Selain itu, dukungan optimalisasi penggunaan sisa anggaran lebih (SAL) dan kerja sama dengan Bank Indonesia (BI) berhasil menekan biaya utang. Semuanya itu berhasil memenuhi kebutuhan pembiayaan utang. Bahkan, Pemerintah melakukan pembatalan enam kegiatan lelang Surat Berharga Negara (SBN) di pasar perdana pada akhir 2021. (*)