Dalam konteks ini, telah terjadi kekosongan hukum mengenai peraturan pengangkatan hingga pemberhentian Penjabat Kepala Daerah yang merupakan urusan pemerintahan yang fungsinya berada di bawah kewenangan Kementerian Dalam Negeri.
“Sehingga tidak ada alasan apapun bagi Mendagri selain melaksanakan tindakan korektif ORI,” ujar Fatia.
Berdasarkan catatan KontraS, ICW dan Perludem pada periode Mei-Juli 2022 setidaknya terdapat delapan penunjukan sementara Penjabat Kepala Daerah yang dilakukan oleh Mendagri mulai dari Gubernur hingga Bupati/Walikota yang habis masa jabatannya.
Salah satunya adalah perwira tinggi aktif dari unsur Tentara Nasional Indonesia (TNI). Hal itu sangat kontraproduktif dengan semangat reformasi untuk memisahkan ABRI dari urusan sipil.
Di sisi lain, seluruh rangkaian proses penunjukan yang dilakukan oleh Mendagri tersebut dilakukan tanpa dasar aturan pelaksana yang telah diperintahkan oleh Mahkamah Konstitusi, sehingga menyebabkan minimnya akuntabilitas serta sarat akan potensi konflik kepentingan. Minimnya pelibatan masyarakat dalam prosesnya merupakan bentuk pelanggaran serius terhadap Hak Atas Partisipasi masyarakat yang dijamin Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945.
Secara tegas Pasal 86 ayat (6) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sudah menyebutkan bahwa pengaturan teknis berkaitan dengan Penjabat kepala daerah harus diatur menggunakan Peraturan Pemerintah. Akan tetapi, Kementerian Dalam Negeri justru bersikukuh untuk menolak mandat peraturan perundang-undangan tersebut dengan menggunakan payung hukum berupa Peraturan Menteri Dalam Negeri.
Atas hal tersebut sebagaimana telah dijabarkan di atas, KontraS, ICW dan Perludem mendesak pemerintah untuk segera menyiapkan Peraturan Pemerintah sebagai aturan pelaksana dalam pengangkatan Penjabat Kepala Daerah.
“Hal ini menjadi penting sebagai bagian dari mandat Mahkamah Konstitusi dan Rekomendasi Ombudsman RI,” katanya.
Kedua, mendesak Pemerintah dalam hal ini Presiden menegur atau bahkan mencopot Menteri Dalam Negeri karena tidak patuh terhadap peraturan perundang-undangan, dan mengabaikan kesempatan untuk memperbaiki tata kelola penunjukan Penjabat Kepala Daerah sebagaimana disampaikan Ombudsman RI.
“Kami juga mendesak Mendagri untuk melakukan evaluasi penempatan anggota TNI-Polri aktif sebagai Penjabat Kepala Daerah. Langkah ini selain bertentangan dengan beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan, juga hanya akan membangkitkan hantu dwi fungsi TNI-Polri sebagaimana terjadi pada era Orde Baru,” katanya.
Baca juga: Ombudsman Tegaskan Aturan Pj Kepala Daerah Harus Lewat PP