Saat di Mesir, Mas Mansur belajar di Perguruan Tinggi Al-Azhar pada Syaikh Ahmad Maskawih. Saat menempuh studi di Mesir, kondisi di Mesir sedang gencar-gencarnya semangat nasionalisme dan pembaharuan. Situasi seperti itu, dimanfaatkan oleh Mas Mansur untuk membaca tulisan-tulisan tentang nasionalisme dan mendengarkan pidato-pidato nasionalisme dari tokoh-tokoh Mesir. Pada akhirnya, petulangan Mas Mansur di Mesir dan Makkah berakhir pada 1915 dan ia kembali ke Indonesia.
Kiprah Mas Mansur di Indonesia
Seulang dari luar negeri, Mas Mansur menikah dengan Siti Zakijah dan ia dikaruniai oleh enam orang anak. Selain menikah dengan Zakijah, Mas Mansur juga menikah dengan Halimah, tetapi pernikahan dengan Halimah tidak berlangsung lama karena pada 1939, Halimah meninggal dunia.
Selain menikah, sepulangnya dari Makkah dan Mesr, Mas Mansur juga bergabung ke dalam Sarekat Islam dan Mas Mansur membawa modal pengetahuan politik yang ia dapatkan di Makkah dan Mesir untuk bergabung bersama Syarikat Islam.
Saat bergabung dengan Sarekat Islam, Sarekat Islam sedang dipimpin oleh Oemar Said Tjokroaminoto dan Sarekat Islam dikenal sebagai organisasi yang radikal dan revolusionel. Di Sarekat Islam, Mas Mansur dipercaya untuk menjadi Penasihat Pengurus Besar Sarekat Islam.
Selain itu, Mas Mansur juga mendirikan sebuah majelis diskusi bersama Wahab Hasboellah dan diberi nama Taswir al-Afkar (Cakrawala Pemikiran). Dalam majelis diskusi tersebut, masalah-masalah yang dibahas mulai dari yang bersifat keagmaan sampai masalah politik perjuangan melawan penjajah. Di samping aktif berdiskusi, Mas Mansur juga banyak menghasilkan tulisan-tulisan yang berbobot.
Tulisan-tulisan Mas Mansur banyak berbicara mengenai pemikirannya tentang pembaharuan dan tulisan-tulisan dari Mas Mansur banyak dimuat di media massa. Di samping itu, Mas Mansur juga beberapa kali menerbitkan majalah, seperti Soeara Santri, Djinem dan Kawan Kita. Tulisan-tulisan dari Mas Mansur tidak hanya menghiasi media massa lokal Surabaya, tetapi juga menghiasi banyak media massa di luar Surabaya, seperti Yogyakarta, Medan, dan Solo. Mas Mansur juga beberapa kali menerbitkan buku, antara lain Hadits Nabawijah, Sjarat Sjahnja Nikah, Risalah Tauhid, dan Sjirik, dan Adab al-Bahts wa al-Munadlarah.
Mas Mansur dan Muhammadiyah
Sebagai tokoh Islam, Mas Mansur juga aktif dalam organisasi keagamaan. Pada 1921, Mas Mansur bergabung bersama Muhammadiyah dan di sana ia membawa angin segar mengenai ide-ide pembaharuan yang selaras dengan visi dari Muhammadiyah sebagai organisasi pembaharuan.
Di Muhadimmayah, Mas Mansur menapaki karier organisasinya dari bawah, mulai dari menjadi Ketua Cabang Muhammadiyah Surabya, Konsl Muhammadiyah Wilayah Jawa Timur, dan akhirnya menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah.
Mas Mansur terpilih menjadi Ketua PB Muhammadiyah dalam Kongres Muhammadiyah ke-26 di Yogyakarta pada Oktober 1937.
Mas Mansur dan Empat Serangkai
Selain aktif dalam organisasi keagmaan, Mas Mansur juga aktif untuk berkegiatan politik. Statusnya sebagai ketua PB Muhammadiyah membuatnya harus banyak terlibat dalam aktivitas politik ummat Islam. Bahkan, ia menjadi pendiri Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) bersama Hasyim ASy’ari dan Wahab Hasboellah. Selain itu, ia juga menjadi salah satu pendiri Partai Islam Indonesia (PII). Di samping itu, Mas Mansur juga lekat dengan sebuatn empat serangkai, bersama dengan Soekarno, Mohammad Hatta, dan Ki Hajar Dewantara.
Akhir Hayat
Mas Mansur menghembuskan nafas terakhirnya pada 25 April 1946. Saat itu, ia ditangkap dan ditawan oleh tentara NICA di Kalisosok. Mas Mansur ditangkap tentara NICA ketika ia ikut berjuang bersama barisan pemuda ketika pecahnya Perang Revolusi Kemerdekaan.
Jasa Mas Mansur banyak dikenang oleh teman-teman seperjuangannya dan tokoh Muhammadiyah ini menjadi salah satu tokoh pejuang Islam yang dihormati. Pemerintah Indonesia juga memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada KH Mas Mansur
EIBEN HEIZIER
Baca juga: Ridwan Kamil Temui Ketum PP Muhammadiyah di Yogya, Ini yang Dibahas