Pada tahun 1987, Samadi dipanggil ke Koramil dan mendapat tindakan kasar dari petugas yang menanyainya. “Kepala saya didengklak-dengklakke (ditarik-tarik) ke belakang,”katanya kepada Majalah Tempo.
Wajah Samadi juga sempat terkena gamparan. Dengan perasaan takut, ia kemudian membubuhkan cap jempol di sebuah formulir dan melepaskan pekarangannya seluas 2.700 m2 untuk ditukar dengan uang Rp 1,5 juta.
Ketika Warga Hidup dalam Genangan Air
Pada 14 Januari 1989, Waduk Kedung Ombo mulai diairi. Padahal, sekitar 1.000 keluarga yang terkena proyek masih mendiami rumahnya.
Sejak peresmian itu, permukaan air naik 20 hingga 50 cm setiap harinya, menyebabkan warga yang bertahan harus hidup bersama genangan air. Sebagian lantas memilih menyerah, sementara beberapa yang lain terus melawan.
Hingga tahun 1990, sebanyak 34 warga masih bertahan di lokasi waduk. Lewat LBH, mereka menggugat Gubernur Jawa Tengah karena menyalahi ketentuan ganti rugi.
Pada 18 Mei 1991, Waduk Kedung Ombo diresmikan oleh Presiden Soeharto. Dalam temu wicara, Soeharto melontarkan kecaman pada warga yang tidak mau pindah. Ia menyebut mereka “mengguguk makuto waton” (berkepala batu) dan menghimbau agar tidak menjadi kelompok mbalelo.
Tiga tahun kemudian, gugatan warga dimenangkan oleh Mahkamah Agung. Pemerintah diwajibkan membayar ganti rugi sebesar Rp 50 ribu per meter persegi untuk tanah dan bangunan, serta 30 ribu per meter persegi untuk tanaman. Besaran ganti rugi tersebut lebih besar dari permintaan warga, yakni sebesar Rp 10 ribu per meter persegi.
Kemenangan warga tentunya disambut dengan sukacita. Sayangnya, Gubernur Ismail tidak lantas tinggal diam. Ia mengajukan peninjauan kembali (PK) atas keputusan ini dan memenangkannya. Dengan demikian, gugatan warga terdampak Waduk Kedung Ombo kandas alias batal diterima.
Baca juga: Pengerahan Polisi di Wadas Ganggu Aktivitas Ekonomi Masyarakat
SITI NUR RAHMAWATI