TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Bidang Akademik dan Penelitian di Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Bivitri Susanti mengecam langkah Dewan Perwakilan Rakyat yang tak memasukkan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS), ke dalam agenda pembahasan dalan Rapat Paripurna hari ini, Kamis, 16 Desember 2021.
Hal ini seakan menegaskan tak adanya sense of crisis dari sejumlah anggota DPR terhadap darurat kekerasan seksual di Indonesia. "Mereka memperlakukan RUU ini parameternya itu cuma parameter ekonomi politik. Sense of crisis nya tak ada sama sekali. Jadi akhirnya ada barter yang terjadi itu dalam konteks kepentingan politik," kata Bivitri dalam diskusi daring Rabu malam, 15 Desember 2021.
Bivitri melihat RUU TPKS ini dijegal sebagian anggota Dewan untuk masuk ke Paripurna hari ini. Pasalnya, Rabu pekan lalu, rapat pleno sudah memutuskan RUU ini menjadi usulan inisiatif DPR. Namun hingga kemarin, tak ada rapat badan musyawarah (bamus) yang seharusnya menjadi titik akhir pembahasan sebelum diputuskan masuk ke Rapat Paripurna.
Hal ini sebelumnya terjadi juga pada RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT). 1,5 tahun sejak diabaikan tak masuk Paripurna, hingga sekarang nasib RUU PPRT tak ada kejelasan. Ada pula RUU Masyarakat Hukum Adat yang juga tersendat hingga sekarang.
Bivitri melihat ketiga RUU ini seakan sengaja dibiarkan karena tak punya nilai ekonomi-politik yang kuat. Berbeda dengan Undang-Undang Cipta Kerja, Revisi Undang-Undang KPK, hingga Undang-Undang Minerba yang punya nilai ekonomi-politik tinggi.
"RUU TPKS ini kan kering ya, sama keringnya dengan RUU PPRT dan RUU Masyarakat Adat. Itu kering banget gak ada faedahnya buat anggota DPR. Nilai ekonomisnya gak ada," kata Bivitri.
Kecurigaan Bivitri ini diperkuat dengan adanya sedikitnya RUU yang dihasilkan DPR selama beberapa tahun terakhir. Pada 2017, DPR hanya meloloskan 6 RUU dari 52 RUU; pada 2018, 5 RUU dari 50 RUU; pada 2019, 14 RUU dari 55 RUU; pada 2020, 3 RUU dari 37 RUU.
Itu pun kebanyakan RUU kumulatif terbuka yang kovenan internasional. Bagi Bivitri, RUU yang substantif hanya perubahan Undang-Undang Otonomi Khusus Papua, dan Perpajakan.
"Bisa lihat dari rekam jejak itu bahwa dugaan atau hipotesis saya barangkali ada benarnya. Karena ini untuk menjelaskan saja. Kita udah gila gilaan kemarahannya, tapi bagi sebagian anggota DPR ini (RUU TPKS) lewat aja," kata Bivitri.