TEMPO.CO, Jakarta - Universitas Riau (Unri) belum dapat menonaktifkan Syafri Harto dari jabatan Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik meski telah ditetapkan sebagai tersangka atas kasus dugaan pelecehan seksual terhadap mahasiswinya.
Juru bicara Tim Pencari Fakta (TPF) Sujianto menuturkan langkah itu diambil karena kampus mengikuti tiga aturan pemerintah. Ketiga aturan ialah Peraturan Pemerintah Nomor 94 tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil, PP Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS dan Permenrisekdikti Nomor 81 Tahun 2017 tentang Statuta Unri.
Dalam PP Nomor 94 pasal 31 tahun 2021, Sujianto menyatakan terdapat tiga kategori pemberian hukuman yaitu sanksi ringan, sanksi sedang dan sanksi berat. Sanksi ringan berupa teguran lisan maupun tulisan, sanksi ringan apabila mengganggu sistem di lingkungan administrasi. Lalu sanksi berat apabila pelanggaran tersebut telah mengganggu secara keseluruhan dan sifatnya krusial.
“Untuk menentukan sanksi jenis apa diperlukan kajian. Kita tidak bisa serta-merta memutuskan. Untuk itu perlu melakukan investigasi," kata Sujianto yang juga Wakil Rektor Bagian Umum dan Keuangan Universitas Riau.
Sujianto menjelaskan berdasarkan Pasal 81 PP tahun 2017, pegawai negeri sipil bisa dihentikan sementara apabila ditahan. Dengan demikian, Rektor bisa mengambil keputusan soal status Syafri.
"Kami tidak bisa memberhentikan atau memutasi semena-mena. Kalau belum ditahan tidak bisa. Maka kami mengikuti peraturan itu," ujar Sujianto.
Saat ini penyidik Polda Riau telah menetapkan Syafri sebagai tersangka dugaan pelecehan seksual terhadap mahasiswi bimbingannya pada Oktober 2021 di ruang Dekan FISIP Universitas Riau.
Baca juga: BEM Unri Desak Rektorat Copot Dekan Syafri Harto Tersangka Pelecehan Seksual