TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Nadiem Makarim, secara tegas menampik tuduhan bahwa Permendikbud 30 melegalkan perzinaan. Nadiem siap berdiskusi dengan para pihak yang mengkritik Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual.
"Saya sudah berkali-kali menyebut Kemendikbud tidak pernah mendukung seks bebas atau zina. (Tuduhan) ini terjadi karena ada frasa yang mungkin diambil di luar konteks. Kami dengan senang hati akan berdiskusi dengan berbagai pihak yang mengkritik," ujar Nadiem dalam sosialisasi Permendikbud 30/2021 secara daring, Jumat, 12 November 2021.
Mendikbud Nadiem Makarim menegaskan bahwa ranah pengaturan Permendikbud 30/2021 terbatas pada wilayah pencegahan dan penanganan kekerasan seksual.
"Jadi bukan berarti hal-hal yang tidak diatur atau tidak masuk definisi kekerasan seksual adalah semuanya diperbolehkan," ujarnya. "Kami dalam beberapa bulan ke depan pasti akan datang, sowan ke berbagai macam pihak dan mengerti kalau mereka punya kekhawatiran".
Adapun yang paling keras mengkritik Permendikbud 30/2021 di antaranya adalah PP Muhammadiyah dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Keduanya kompak mengkritik frasa ‘tanpa persetujuan korban’ yang mengacu kepada definisi kekerasan seksual dalam pasal 5 pada ayat (2) huruf b, f, g, h, j, l, dan m. Hal ini dinilai mendegradasi substansi kekerasan seksual, yang mengandung makna dapat dibenarkan apabila ada persetujuan korban.
"Frasa 'tanpa persetujuan korban' mengandung makna bahwa kegiatan seksual dapat dibenarkan apabila ada persetujuan korban (consent). Atau dengan kata lain, Permendikbud 30 mengandung unsur legalisasi terhadap perbuatan asusila dan seks bebas berbasis persetujuan," ujar Sekretaris Majelis Diktilitbang Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Sayuti lewat keterangannya yang dikutip dari laman resmi Muhammadiyah, Kamis, 11 November 2021.
Pakar Hukum dari Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Bivitri Susanti menilai tuduhan tersebut terlalu mengada-ada. Ia menyatakan cara berpikir yang disampaikan kelompok pengkritik tidak keliru dari aspek hukum.
"Tidak berarti semua yang tidak diatur dalam sebuah peraturan perundang-undangan, maka menjadi boleh. Ini kan fokusnya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di kampus. Jadi yang diatur yang ranahnya terbatas pada itu," ujar Bivitri ihwal Permendikbud 30.
Baca juga: Urgensi Permendikbud 30 dalam Upaya Mencegah Kekerasan Seksual di Kampus
DEWI NURITA