TEMPO.CO, Jakarta - Kasus pelecehan atau kekerasan seksual di kampus selama ini jarang terkuak ke permukaan. Terbitnya Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi RI Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Permendikbudristek PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi diharapkan bisa memicu para korban untuk berani bicara.
Teranyar, mahasiswi Universitas Riau mengungkap kasus dugaan kekerasan seksual yang menimpanya. "Kehadiran Permendikbudristek ini semestinya membuat rektorat lebih cepat dan tegas dalam menindak kasus ini," ujar Aktivis Perempuan, Damaira Pakpahan saat dihubungi Tempo, Selasa, 9 November 2021.
Damaira mengatakan kasus-kasus kekerasan dan pelecehan seksual di kampus selama ini tak terungkap karena kuatnya relasi kuasa para pelaku dan tak adanya payung hukum. Terbitnya Permendikbudristek 30/2021 dinilai bisa menjadi pijakan kuat untuk mengadvokasi para korban yang selama ini masih bungkam.
"Aturan ini seperti angin segar dan kebijakan progresif untuk melawan para patriarki atau mereka yang berkuasa untuk tidak sewenang-wenang," ujarnya.
Data Komnas Perempuan sepanjang 2015-2020 menunjukkan, dari keseluruhan pengaduan kekerasan seksual yang berasal dari lembaga pendidikan, sebanyak 27 persen kasus terjadi di perguruan tinggi. Data ini diperkuat dengan survei Koalisi Ruang Publik Aman pada 2019 yang menunjukkan lingkungan sekolah dan kampus menduduki urutan ketiga lokasi terjadinya tindak kekerasan seksual (15 persen) di bawah jalanan (33 persen) dan transportasi umum (19 persen).
Survei Kemendikbud pada 2020 menyebutkan 77 persen dosen menyatakan kekerasan seksual pernah terjadi di kampus dan 63 persen tidak melaporkan kasus yang diketahuinya kepada pihak kampus. Mayoritas korban kekerasan seksual adalah perempuan.
Komisioner Komnas Perempuan, Alimatul Qibtiyah mengatakan, minimnya pengaduan kekerasan seksual di perguruan tinggi menunjukkan bahwa tidak semua kampus mempunyai aturan yang jelas, implementatif dan efektif terkait dengan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual termasuk pemulihan korban.
"Dalam konteks kekerasan seksual di lingkungan pendidikan, terjadi karena relasi kuasa yang menimbulkan ketidakberdayaan korban. Umumnya pelaku memanfaatkan kerentanan, ketergantungan dan kepercayaan korban kepadanya," ujar Alimatul dalam keterangannya yang dikutip pada Selasa, 9 Oktober 2021.
Selain itu, lanjut dia, belum semua pimpinan punya perspektif korban sehingga terjadi pengabaian dan penyangkalan terjadinya kekerasan seksual dan mengkhawatirkan reputasi nama baik kampus.
Komnas Perempuan mengapresiasi Permendikbudristek 30/2021 ini sebagai suatu langkah maju. Lahirnya Permendikbudristek 30/2021 ini diharapkan dapat mewujudkan penanggulangan kekerasan seksual dengan pendekatan institusional dan berkelanjutan serta memberikan kepastian hukum bagi pemimpin perguruan tinggi untuk mengambil langkah tegas terhadap kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan kampus.