Berdasarkan catatan tersebut, Muhammadiyah meminta Mendikbudristek Nadiem Makarim merevisi aturan anyar tersebut dan menyusun kebijakan dan regulasi yang lebih akomodatif, memperhatikan tertib asas, serta merumuskan kebijakan dan peraturan berdasarkan pada nilai-nilai agama, Pancasila, dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Senada, Wakil Ketua Komisi X DPR RI dari Fraksi PKS, Abdul Fikri Faqih menilai frasa ‘tanpa persetujuan korban’ yang mengacu kepada definisi kekerasan seksual dalam Permendikbudristek 30/2021 Pasal 5 ayat (2) mengandung makna persetujuan seksual atau sexual consent. “Artinya hubungan seksual dibolehkan asal dilakukan atas dasar suka sama suka," ujarnya, Senin, 8 November 2021.
Hal tersebut dinilai bertolak belakang dengan norma hukum yang berlaku di Indonesia, dimana perzinaan dianggap sebagai perilaku asusila dan diancam pidana. Fikri menegaskan fraksinya sangat menentang segala bentuk kekerasan seksual sebagaimana yang tertulis di dalam judul Permendikbudristek 30/2021. Namun di sisi lain, juga tidak setuju dengan legalisasi perzinaan.
Komisi X DPR RI berencana memanggil Mendikbudristek dalam waktu dekat untuk membahas polemik Permendikbudristek 30/2021 ini. "Diskusi bersama poksi-poksi komisi X rencananya Jumat pekan ini,” tutur Fikri.
Koordinator Pelaksana Harian Asosiasi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK), Khotimun Sutanti menilai argumentum a contrario dengan kesimpulan bahwa Permendikbudristek 30/2021 dianggap mendorong atau melegalisasi zina, kurang tepat. Sebab, ujar dia, tujuan aturan ini untuk mencegah dan menangani kekerasan seksual, sehingga ranah pengaturannya terbatas pada wilayah pencegahan dan penanganan kekerasan seksual.
"Permendikbudristek juga mendorong pengaturan pada kebijakan kampus dalam merespon kekerasan seksual dan menyusun sanksi yang sesuai dan terbatas pada kewenangan kampus, serta terkait dengan akuntabilitas dan peran kampus dalam merespon kekerasan seksual. Maka dalam hal ini, Permendikbud tersebut tidak bertentangan dan tidak menggugurkan hak korban menempuh jalur hukum sesuai peraturan perundang-undangan di Indonesia," ujarnya lewat keterangan tertulis, Selasa, 9 November 2021.
Berkaitan dengan masih adanya perbedaan persepsi ihwal kapasitas perguruan tinggi dalam membangun mekanisme pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual ini, ujar dia, maka pemerintah perlu melakukan dialog dan asistensi intensif untuk membantu perguruan tinggi dalam mengimplementasikan Permendikbudristek ini sejak proses perencanaan hingga pelaksanaannya.
"Pemerintah perlu menyediakan panduan teknis yang lebih detail sehingga tidak menimbulkan kesalahpahaman dan kesulitan dalam memahami serta mengimplementasikan Permendikbudristek tersebut," ujar Khotimun.
Salah satunya, ujar dia, masih kurangnya penjelasan mengenai peran kampus dalam Pasal 10 dan Pasal 11 terkait pendampingan, perlindungan, sanksi, dan pemulihan, temasuk mengenai kewajiban kampus dalam menyediakan rehabilitasi, layanan kesehatan, dan bantuan hukum.
"Bahwa layanan-layanan tersebut tidak harus disediakan secara mandiri oleh perguruan tinggi, namun dapat dilakukan dengan membangun mekanisme/sistem rujukan (referral system). Kebutuhan korban dapat dirujuk oleh perguruan tinggi bekerja sama dengan lembaga lain yang memiliki layanan terkait (bantuan hukum, pemulihan, kesehatan dll) di luar perguruan tinggi tersebut," tuturnya.
Pelaksana tugas (Plt) Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi, Nizam menyebut Permendikburistek 30/2021 telah melalui tahapan sosialisasi kepada berbagai pemangku kepentingan dan melalui sejumlah rapat koordinasi. Sosialisasi lebih luas sebagai Merdeka Belajar Episode Keempat Belas: Kampus Merdeka dari Kekerasan Seksual akan diselenggarakan secara daring pada Kamis, 11 November 2021.
Nizam juga secara tegas menampik anggapan bahwa Permendikbudristek PPKS melegalkan perzinaan. Menurut Nizam, tafsir tersebut timbul karena kesalahan persepsi atau sudut pandang. "Tidak ada satu pun kata dalam Permen PPKS ini yang menunjukkan bahwa Kemendikbudristek memperbolehkan perzinaan. Tajuk diawal Permendikbudristek ini adalah pencegahan, bukan pelegalan,” ujarnya lewat keterangan tertulis yang dikutip pada Selasa, 9 November 2021.
Nizam juga menggarisbawahi bahwa fokus Permendikbudristek PPKS adalah pencegahan dan penindakan atas kekerasan seksual. "Sehingga definisi dan pengaturan yang diatur dalam Permen ini khusus untuk mencegah dan mengatasi kekerasan seksual,” ujarnya.
Dengan terbitnya aturan ini, kata Nizam, beberapa organisasi dan perwakilan mahasiswa sudah berani menyampaikan keresahan dan kajian atas kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan perguruan tinggi yang tidak ditindaklanjuti oleh pimpinan perguruan tinggi. “Kebanyakan dari mereka takut melapor dan kejadian kekerasan seksual menimbulkan trauma bagi korban. Hal ini menggambarkan betapa mendesaknya peraturan ini dikeluarkan,” ujarnya.
Kehadiran Permendikbudristek 30/2021 dinilai merupakan jawaban atas kebutuhan perlindungan dari kekerasan seksual di perguruan tinggi. "Oleh karenanya, kekerasan seksual di sektor pendidikan tinggi menjadi kewenangan Kemendikbudristek, sebagaimana ruang lingkup dan substansi yang tertuang dalam Permendikbudristek tentang PPKS ini," ujar Guru Besar UGM ini.
Baca juga: Dukung Permendikbudristek Cegah Kekerasan Seksual, Menag Bakal Terbitkan Edaran
DEWI NURITA