TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat politik dari Universitas Paramadina, Hendri Satrio, menilai rencana pemerintah menjadikan perwira tinggi TNI/Polri sebagai penjabat kepala daerah harus dihindari. “Karena hal ini akan dapat merugikan TNI/Polri itu sendiri,” kata Hendri kepada Tempo, Selasa, 28 September 2021.
Hendri mengatakan, memang sudah ada pejabat-pejabat tinggi, baik dari kalangan militer maupun kepolisian, yang dipilih sebagai pelaksana tugas atau pejabat sementara kepala daerah. Seperti Komisaris Jenderal Polisi Mochamad Iriawan sebagai penjabat Gubernur Jawa Barat pada 18 Juni-September 2018. Kemudian dari kalangan TNI ada Soedarmo sebagai penjabat Gubernur Aceh pada 2016-2017.
Menurut Hendri, hal tersebut sebaiknya jangan sampai terulang lagi. Sebab, jika TNI/Polri mengisi jabatan kepala daerah yang kosong, maka kedua institusi ini akan dikait-kaitkan dengan proses politik yang terjadi di daerah. “Hal tersebut sudah pasti akan menimbulkan preseden buruk terhadap citra kedua institusi ini di mata masyarakat,” katanya.
Hendri mengingatkan, rencana menunjuk perwira TNI/Polri aktif sebagai penjabat kepala daerah harus menjadi perhatian. “Jika mereka didorong untuk masuk kembali ke dalam politik dalam hal ini menjadi pelaksana tugas kepala daerah, maka dampaknya pun tidak baik untuk mereka,” ucapnya.
Pemerintah membuka peluang penjabat kepala daerah diisi perwira tinggi TNI/Polri pada masa transisi Pilkada Serentak 2024. Tahun depan, setidaknya ada tujuh kursi gubernur yang kosong karena sudah habis masa jabatannya. Posisi ini akan diisi oleh penjabat gubernur hingga Pilkada 2024. Kemudian, pada 2023 akan ada 13 kursi lagi yang kosong.
FRISKI RIANA
Baca: Zulkifli Hasan Sebut TNI-Polri Aktif Tak Dimungkinkan Jadi Penjabat Gubernur