INFO NASIONAL- Ketua MPR RI Bambang Soesatyo memandang wacana perpanjangan periodisasi jabatan presiden menjadi tiga periode, merupakan wacana yang prematur. Lagipula dari segi politik, hal tersebut juga sulit terjadi. Alasannya, partai politik bersiap menghadapi Pemilu 2024 dengan mengusung calon presidennya masing-masing.
"Di internal MPR RI, dari mulai Komisi Kajian Ketatanegaraan, Badan Pengkajian MPR, hingga tingkat pimpinan MPR, tidak pernah sekalipun membahas wacana perpanjangan periodisasi presiden menjadi tiga periode. Rencana MPR RI melakukan amandemen terbatas hanya untuk menghadirkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN), bukan yang lain," ujar Bamsoet dalam Webinar yang diselenggarakan Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) PP Muhammadiyah, secara virtual dari Bali, Senin 13 September 2021.
Turut hadir antara lain Ketua Bidang Hukum PP Muhammadiyah Busyro Muqoddas, Ketua Fraksi Demokrat MPR RI Benny Harman, Ketua LHKP PP Muhammadiyah Yono Reksoprodjo, Wakil Sekretaris LHKP PP Muhammadiyah Titi Anggraini, Peneliti Senior LIPI Siti Zuhro, dan Peneliti Senior Pusat Kajian Konstitusi dan Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Jakarta Iwan Satriawan.
Ketua DPR RI ke-20 dan ini menjelaskan, di Indonesia, aturan mengenai pembatasan masa jabatan presiden dan wakil presiden diatur secara tegas pada pasal 7 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal itu menyatakan presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.
"Artinya, presiden dan wakil presiden hanya dapat menjabat dua kali pada jabatan yang sama, baik berturut turut maupun tidak berturut-turut. Baik masa jabatan tersebut dipegang secara penuh dalam periode lima tahun maupun kurang dari lima tahun," ujar Bamsoet, mantan Ketua Komisi III Bidang Hukum DPR RI.
Kepala Badan Bela Negara FKPPI dan Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila ini menerangkan, untuk melakukan perubahan konstitusi dibutuhkan konsolidasi politik yang besar. Persyaratannya sangat berat.
Ayat 1 pasal 37 ayat UUD NRI 1945menjelaskan, usul perubahan pasal-pasal konstitusi dapat diagendakan dalam sidang MPR bila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR (237 dari 711 jumlah anggota MPR). Di ayat 3, dijelaskan untuk mengubah pasal-pasal konstitusi, sidang MPR harus dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota MPR (474 dari 711 anggota MPR).
"Sementara di ayat 4 dijelaskan, putusan mengubah pasal-pasal UUD dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya 50 persen ditambah satu anggota dari seluruh anggota MPR, sekitar 357 dari 711 anggota MPR. Artinya, satu partai saja tidak setuju dengan rencana amandemen, maka tidak bisa dilakukan," kata Bamsoet.
Kepala Badan Hubungan Penegakan Hukum, Pertahanan dan Keamanan KADIN Indonesia ini menerangkan, jika merujuk referensi global, ada beberapa negara yang membolehkan masa jabatan Presiden lebih dari dua kali. Sejarah Amerika mencatat, Presiden Franklin Roosevelt menjabat sebagai Presiden AS selama empat kali dalam periode kepresidenan 1933-1945 ketika krisis akibat Perang Dunia II.
Namun pasca amandemen Konstitusi tahun 1951, masa jabatan Presiden AS dibatasi selama dua periode. "Hingga saat ini, masih ada beberapa negara yang mengadopsi pemberlakuan masa jabatan presiden lebih dari dua periode. Antara lain misalnya Brasil, Argentina, Iran, Kongo, Kiribati, Tanjung Verde, dan Tiongkok," ujar Bamsoet.
Wakil Ketua Umum Partai Golkar ini menuturkan, sejarah mencatat Indonesia pernah melakukan penundaan dan percepatan Pemilu. Maklumat Wakil Presiden Mohammad Hatta pada 3 November 1945 membuat Pemilu yang seharusnya dilakukan pada Januari 1946 ditunda hingga 1955. "Sedangkan percepatan Pemilu pernah dilakukan melalui Sidang Istimewa MPR RI pada 10-13 November 1998 yang menolak laporan pertanggungjawaban Presiden Habibie dan mengharuskan Pemilu dipercepat," kata Bamsoet. (*)