TEMPO.CO, Jakarta - Hari ini, 10 September, merupakan tanggal wafat Gubernur Jawa Timur pertama, Ario Suryo atau biasa disebut Gubernur Suryo. Nama lengkapnya Raden Mas Tumenggung Ario Soerjo, ia lahir di Magetan, Jawa Timur pada tanggal 9 Juli 1898. Dilansir dari laman p2k. Itbu.ac.id, Gubernur Suryo adalah pahlawan nasional dan Gubernur Jawa Timur pertama dari tahun 1945 - 1948.
Iwan Lubis dalam artikelnya berjudul Biografi Gubernur Suryo mengatakan bahwa pendidikan Suryo ditempuh di OSVIA dan Bestuurs School. Ia juga pernah mendapat pendidikan polisi di Sukabumi.
Suryo mengawali karir ketika bekerja sebagai pamong praja di Ngawi, kemudian menjadi mantri di Madiun, dan pada masa penjajahan sebagai bupati Magetan. Pada masa penjajahan Jepang, Suryo diangkat sebagai syucokan (residen) di Bojonegoro. Suryo kemudian diangkat menjadi Gubernur pertama Jawa Timur setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.
Peran Gubernur Suryo dalam perjuangan Indonesia adalah ketika ia membuat akad genjatan senjata dengan komandan pasukan Inggris yang kala itu dijabat oleh Brigadir Jenderal Mallaby di Surabaya pada tanggal 26 Oktober 1945. Sayang, genjatan senjata ini gagal hingga menewaskan Jenderal Mallaby.
Kematian Mallaby membuat Inggris naik pitam hingga mengultimatum rakyat Surabaya untuk menyerahkan semua senjatanya paling lambat tanggal 9 November 1945. Gubernur Suryo, yang diberi wewenang oleh Soekarno, memutuskan menolak ultimatum tersebut dan dengan tegas berpidato, “Arek-arek Suroboyo akan melawan ultimatum Inggris hingga darah penghabisan,” kata Suryo seperti dikutip dari laman p2k.itbu.ac.id. Sikap tegas Gubernur Suryo menyebabkan apa yang kita kenal saat ini dengan Pertempuran Surabaya melawan Inggris.
Sayang, tokoh berani seperti Gubernur Suryo, yang tegas membela bangsanya sendiri meninggal di tangan saudara sebangsanya. Setelah menghadiri peringatan 10 November di Yogyakarta, Suryo ingin pulang ke Madiun dalam rangka menghadiri empat puluh hari wafatnya adik beliau yang dibunuh anggota PKI.
Bung Hatta, mengingatkan agar Suryo membatalkan niatnya tersebut mengingat situasi yang belum stabil. Suryo tetap bergeming dan berangkat bersama dua ajudannya, Mayor Soehardi dan sopirnya, Letnan Soenarto.
Sejak awal keberangkatannya, situasi sudah menunjukkan tanda-tanda tidak baik. Ban mobil mereka sempat pecah, kehabisan bensin, bahkan sempat dua kali kembali ke titik keberangkatan. Dalam perjalananya itu, Residen Solo, Diro, sempat menahan beliau untuk bermalam di kediamannya. Diro juga mengingatkan Suryo untuk tidak melanjutkan perjalananya ke Madiun. Suryo menolak dan tetap gigih melanjutkan.
Hingga sampai di Desa Bogo Kedunggalar, Ngawi, mobil Suryo dicegat oleh gerombolan anggota PKI yang dipimpin Maladi Yusuf. Mereka disuruh turun dan dibawa ke Hutan Sonde, dan kemudian dibunuh secara kejam.
Empat hari kemudian, jenazah Suryo ditemukan oleh penduduk di sekitar Kali Kakah Dukuh Ngandu, Desa Bangunrejo Lor Kecamatan Kedunggalar, Kabupaten Ngawi. Masyarakat kemudian melapor, dan diteruskan hingga ke Bupati Madiun yang merupakan sepupu Suryo, Kusnendar. Dari Kusnendar, berita kematian Suryo menyebar dengan cepat.
Dilansir dari buku Sri Sutjiatiningsih berjudul "Gubernur Suryo, Pahlawan Nasional", untuk menghargai jasanya, Gubernur Jawa Timur pertama Suryo kemudian diangkat menjadi Pahlawan Nasional dan dibangun monumen yang dinamakan “Monumen Suryo” di dukuh Pelanglor, Kecamatan Kedunggalar, Kabupaten Ngawi.
NAUFAL RIDHWAN ALY
Baca: Kota Tua Surabaya dari Pertempuran Surabaya ke Instagram