TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah tokoh masyarakat, akademisi, dan gabungan koalisi masyarakat sipil menekan petisi bersama, terkait dengan rencana pembentukan Komponen Cadangan yang diinisiasi oleh Kementerian Pertahanan. Mereka mendesak agar rencana ini dihentikan karena tidak memiliki urgensi.
"Kami mendesak agar Pemerintah tidak perlu membentuk Komponen Cadangan saat ini. Selain tidak mendesak, di tengah situasi krisis global akibat pandemi Covid-19, seharusnya pemerintah lebih fokus untuk mengalokasikan anggaran untuk pemulihan ekonomi serta penguatan komponen utamanya, yakni TNI, ketimbang membentuk Komponen Cadangan," tulis petisi yang diteken Kamis, 18 Februari 2021.
Akademisi yang ikut dalam petisi ini mencangkup dosen-dosen dari Universitas di Indonesia, seperti Sigit Riyanto dan Zainal Arifin Mochtar dari UGM, Chusnul Mar'iyah dari UI, Busyro Muqoddas dari UII Yogyakarta, hingga Anton Aliabbas dari Universitas Paramadina. Petisi juga diikuti oleh sejumlah organisasi buruh, organisasi mahasiswa, hingga lembaga NGO.
Dalam argumennya, mereka mempertanyakan pengesahan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 3 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan UU Nomor 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara (UU PSDN). Berdasarkan aturan ini, pada tahap awal akan merekrut 25.000 masyarakat dan mengalokasikan pembentukan Komponen Cadangan sebesar Rp 1 triliun. Hal ini dinilai akan menjadi beban baru bagi anggaran sektor pertahanan yang saat ini jumlahnya masih terbatas.
Baca juga: ISSES Sebut Pembentukan Komponen Cadangan Jangan Tergesa-gesa
Mereka menilai pembentukan UU PSDN yang menjadi dasar hukum terbentuknya PP Nomor 3 Tahun 2021 sesungguhnya mengandung masalah formil dan materil. Masalah formil pembentukan UU PSDN, kata mereka, terlihat dari proses pembentukan undang-undang tersebut yang dilakukan secara terburu-buru, cenderung tertutup, dan minim partisipasi publik.
"Padahal, prinsip pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik harus dilakukan secara terbuka dengan melibatkan partisipasi masyarakat," kata mereka.
Mereka melihat Pemerintah dan DPR sebaiknya fokus untuk memperkuat komponen utamanya, yakni TNI dalam modernisasi alutsista dan meningkatkan kesejahteraan prajuritnya guna mewujudkan tentara yang profesional, ketimbang membentuk Komponen Cadangan.
Selain itu, mereka menilai sanksi pidana selama paling lama 4 tahun bagi Komcad yang menolak panggilan mobilisasi terlalu berlebihan dan berbahaya.
"Hal ini tentu menyalahi prinsip conscientious objection (hak untuk menolak atas dasar keyakinannya) yang merupakan prinsip utama dalam pelibatan warga sipil dalam pertahanan di berbagai negara yang sudah diakui dalam norma HAM internasional," kata mereka.
Salah satu persoalan utama dari aturan tentang Komponen Cadangan adalah terkait ruang lingkup ancaman yang akan dihadapi yang sangat luas. Dalam Pasal 4 UU PSDN, Komcad yang telah disiapkan dan dibentuk pemerintah dapat digunakan untuk menghadapi ancaman keamanan dalam negeri seperti dalih untuk menghadapi ancaman bahaya komunisme, terorisme, dan konflik dalam negeri yang berpotensi menimbulkan terjadinya konflik horizontal di masyarakat.
"Dalam sejarah Indonesia, proses militerisasi sipil oleh kekuasaan pernah digunakan oleh penguasa untuk mengamankan kekuasaan yang sering menimbulkan kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia," kata mereka.
Karena itu, mereka melihat pembentukan Komponen Cadangan dikhawatirkan akan menjadi sarana dilegalkannya para milisi untuk kepentingan menghadapi kelompok masyarakat dalam negara sendiri. Lebih dari itu, pembentukan Komcad yang dipaksakan pada saat ini, punya kecenderungan dimensi politisnya yakni untuk kepentingan politik praktis ketimbang untuk kepentingan pertahanan.