TEMPO.CO, Jakarta - Komite Pemilih Indonesia atau Tepi Indonesia meminta revisi UU Pemilu tak dilakukan dengan terburu-buru. Koordinator TePI Indonesia Jeirry Sumampow mengatakan revisi yang tergesa-gesa akan mengakibatkan proses pembuatan undang-undang tidak maksimal.
“Apalagi ini kan mau menggabung semua UU terkait Pemilu,” tuturnya dalam keterangan tertulis, Senin, 1 Februari 2021.
Jeirry menyebut proses revisi undang-undang membutuhkan proses panjang karena perlu melibatkan berbagai stakeholder dan mengundang perwakilan sejumlah kalangan untuk memberi masukan. Menurut dia, revisi UU Pemilu dalam waktu yang pendek justru membuat DPR tidak fokus pada substansi persoalan dalam beleid lama.
DPR pun akan mengerucutkan perhatian pada isu-isu populer, seperti ambang batas parlemen atau threshold. Ia khawatir revisi undang-undang malah akan menghasilkan produk hukum yang mengandung kualitas rendah dan sarat masalah.
Di sisi lain, terbatasnya waktu pembahasan undang-undang akan membuat proses revisi menjadi tambal-sulam sehingga bakal berimbas pada tidak harmonisnya klausul-klausul dalam pasal. “Akibatnya, dalam implementasi kemudian hari akan terlihat kelemahan di sana-sini,” ujar Jeirry.
Belum lagi, kata dia, bila RUU Pemilu ditunggangi dengan kepentingan politik. Jeirry meminta DPR serius dalam membahas revisi undang-undang ini agar memiliki kualitas hukum yang baik. Karena itu, ia meminta DPR menunda pembahasan RUU Pemilu.
“Atau bisa saja dibuat opsi baru, yaitu agenda revisi tetap berjalan sesuai Prolegnas 2021 tapi waktunya dibuat lebih panjang, sehingga pemberlakuannya baru setelah 2024,” tuturnya.
Salah satu agenda RUU Pemilu akan mengubah jadwal Pilkada serentak 2024 menjadi 2022 dan 2023. Rencana pembaruan atau revisi UU Pemilu membuat sikap partai politik di DPR terbelah.
Baca juga: Peta Sikap Fraksi di DPR soal Pilkada 2024 dan Kelanjutan Revisi UU Pemilu
FRANCISCA CHRISTY ROSANA