TEMPO.CO, Jakarta - Wacana Revisi Undang-undang Pemilihan Umum atau RUU Pemilu sedang mengemuka di Dewan Perwakilan Rakyat. Revisi undang-undang ini akan menggabungkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Salah satu agenda revisi akan mengubah jadwal Pilkada serentak 2024 menjadi 2022 dan 2023. Rencana pembaruan terhadap undang-undang membuat sikap partai politik terbelah. Berikut ini sejumlah fakta terkait Revisi UU Pemilu.
1. Normalisasi siklus pilkada
RUU Pemilu akan mengubah pergelaran Pilkada serentak, yang pada UU Pilkada Nomor 10 Tahun 2016 akan dilakukan pada 2024. Pilkada, dengan adanya RUU Pemilu, bakal dikembalikan ke siklus lima tahun sehingga pelaksanaannya maju pada 2022 dan 2023.
Agar pilkada dapat digelar pada 2022, RUU Pemilu pun ditargetkan selesai paling cepat pada pertengahan 2021. Komisi II DPR RI dalam rapat paripurna November lalu sudah meminta RUU dibahas dalam masa persidangan 2020-2021.
2. Pilkada 2024 sulitkan capres potensial
Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia, Adi Prayitno, mengatakan waktu penyelenggaraan pemilihan kepala daerah berikutnya yang diatur dalam UU Pilkada Nomor 10 Tahun 2016 akan berpengaruh pada bursa calon presiden atau Capres 2024. Khususnya menyangkut peluang para kepala daerah yang selama ini digadang-gadang bisa maju pada Pilpres 2024, seperti Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, dan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil.
"Kalau 2022 atau 2023 kalau tidak ada pilkada, yang jadi korban politik, dalam tanda kutip, adalah kepala daerah yang selama ini selalu dikaitkan dengan pilpres, Anies, Ridwan Kamil, Ganjar. Mereka akan jadi korban dari sebuah regulasi yang tidak terlampau menguntungkan," kata Adi.
Adi mengatakan Anies, Ridwan Kamil, dan Ganjar akan sulit maju di Pilpres 2024 jika mereka tak lagi menjabat gubernur. Masa jabatan Anies akan berakhir 2022, sedangkan masa jabatan Ganjar dan Ridwan Kamil selesai 2023. Jika pilkada tetap digelar pada 2024, mereka akan kehilangan momentum dan pengaruh karena tak lagi memiliki panggung politik.
Baca: Partai Demokrat Setuju RUU Pemilu dan Pilkada DKI Jakarta 2022
3. Sikap partai pro RUU Pemilu dan normalisasi pilkada
Sejumlah partai menyatakan pro terhadap RUU Pemilu. NasDem, misalnya. Partai sepakat pembahasan RUU Pemilu dan normalisasi pemilihan kepala daerah pada 2022 dan 2023 dilakukan.
Politikus Partai NasDem, Saan Mustopa, mengatakan adanya sejumlah partai yang menolak normalisasi pilkada dan revisi UU Pemilu merupakan hal biasa. "Itu hal biasa saja, selalu ada dinamika, tapi ini proses masih panjang," kata Saan.
Politikus PKB, Luqman Hakim, mengatakan hal senada. Ia menilai pembahasan RUU Pemilu harus dilanjutkan. Ia berlasan praktik demokrasi yang koruptif ditandai dengan politik uang di dalam tiga pemilu terakhir semakin massif dan telanjang. Pemilu yang koruptif, kata dia, akan akan menghasilkan kekuasaan yang cenderung koruptif pula.
Sedangkan Politikus Partai Demokrat, Herzaky Mahendra, menegaskan sikap partainya mengusulkan pilkada tak digelar di tahun yang sama dengan Pilpres dan Pileg 2024. Demokrat, kata Herzaky, berharap pemerintah dan partai-partai di parlemen menyepakati opsi terbaik untuk merawat dan mengembangkan demokrasi. Dia pun setuju adanya normalisasi penyelenggaraan pemilihan kepala daerah pada 2022 dan 2023 dalam Rancangan Undang-undang atau RUU Pemilu, termasuk di dalamnya Pilkada DKI Jakarta pada 2022. Demokrat mengusulkan agar jadwal pilkada dinormalisasi seperti yang tertera dalam draf RUU Pemilu.
5. Partai tak sepakat normalisasi Pilkada
Sejumlah fraksi DPR menyatakan menolak normalisasi pilkada. Mereka adalah Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Fraksi Partai Amanat Nasional, dan Fraksi Partai Persatuan Pembangunan.
PDIP menilai partai politik tidak perlu membuang-buang energi untuk membahas revisi UU Pemilu. "Berpotensi menimbulkan ketegangan politik akibat seringnya perubahan UU Pemilu. Pelaksanaan pilkada yang penting untuk dievaluasi, bukan perubahan UU-nya," kata Ketua DPP PDIP Djarot Saiful Hidayat.
Menurut Djarot, PDIP sepakat bahwa perlu ada evaluasi dari pelaksanaan Pilkada 2020 demi meningkatkan kualitas pemilihan dan demokrasi. "Namun, belum mengarah pada urgensi perubahan UU Pilkada," kata dia.
6. Wacana ambang batas parlemen dalam RUU Pemilu
Manajer Riset dan Program The Indonesian Institute (TII) Center for Public Policy, Arfianto Purbolaksono, menilai wacana kenaikan ambang batas parlemen atau parliamentary threshold 5 persen dalam revisi UU Pemilu perlu ditinjau ulang. "Karena kenaikan PT akan berkonsekuensi terhadap suara pemilih," kata Arfianto atau Anto dalam keterangan tertulisnya, Rabu, 27 Januari 2021.
Anto mengatakan, meski wacana tersebut lebih baik dari sebelumnya yaitu 7 persen, tapi kenaikan ambang batas parlemen akan membuat semakin banyak suara pemilih yang terbuang. "Karena itu sudah selayaknya hal ini kembali dipikirkan DPR agar suara pemilih tidak banyak terbuang," katanya.
Anto mengatakan, kenaikan ambang batas juga tidak menjamin penyederhanaan partai politik. Hal ini pun sudah terbukti di beberapa pemilu sebelumnya ketika adanya kenaikan ambang batas tidak serta merta membuat penyederhanaan partai politik di parlemen.
Bahkan, di tengah maraknya tuduhan oligarki kepada partai politik, Anto menuturkan rencana kenaikan ambang batas parkemen justru memperkuat tuduhan tersebut.
7. Wacana anggota HTI dilarang ikut pemilu
Draf RUU Pemilu melarang bekas anggota organisasi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) mengikuti pemilihan umum, baik pemilihan legislatif, kepala daerah, hingga presiden. Larangan untuk eks anggota HTI ini tertera gamblang seperti halnya untuk mantan anggota Partai Komunis Indonesia (PKI).
Aturan ini tertuang dalam Pasal 182 ayat (2) huruf ii draf RUU Pemilu. Sebelum ini, larangan untuk bekas anggota HTI mengikuti pemilu tak pernah tertulis secara eksplisit.
"Bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya atau bukan orang yang terlibat langsung dalam G.30.S/PKI dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI)," demikian tertulis dalam draf tersebut.
Para calon yang mengikuti pemilihan, baik calon presiden atau calon wakil presiden serta calon kepala daerah, wajib melampirkan surat keterangan tidak terlibat HTI dari Kepolisian yang diatur dalam RUU Pemilu.
FRANCISCA CHRISTY ROSANA | BUDIARTI UTAMI PUTRI | ROSSENO AJI | FRISKI RIANA