TEMPO.CO, Jakarta - Terdakwa perkara suap pengurusan red notice, Djoko Tjandra, mengaku membayar Rp 10 miliar ke rekannya, Tommy Sumardi, Duit itu ia pakai untuk mengurus kepulangannya ke Indonesia.
Djoko mengatakan sempat bernegosiasi dengan Tommy untuk mengurus kepulangannya ke Indonesia. Mulanya, Tommy meminta duit Rp 15 miliar. Namun, Djoko yang sempat buron dalam kasus hak tagih Bank Bali ini keberatan dengan angka tersebut.
Akhirnya kami sepakati angka Rp 10 miliar," kata Djoko di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis, 26 November 2020.
Djoko menjadi saksi untuk rekannya, pengusaha Tommy yang didakwa menjadi perantara suap dari Djoko kepada mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri Irjen Napoleon Bonaparte. Jaksa menyebut suap ini sebesar 200 ribu dolar Singapura dan 270 ribu dolar AS.
Selain untuk Napoleon, jaksa juga mendakwa Djoko menyuap bekas Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan (Kakorwas) Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Bareskrim Polri Brigjen Prasetijo sebesr 150 ribu dolar AS.
"Uang Rp 10 miliar itu untuk mengurus 'red notice' dan DPO saya itu," kata Djoko Tjandra. "Mengurusnya melalui NCB Interpol karena 'red notice' itu ada di NCB itu pengetahuan kami saat itu. Kami diskusi awal Maret, finalnya Maret 2020 selanjutnya istri saya layangkan surat 16 April ke NCB."
Menurut Djoko Tjandra, namanya masuk dalam "red notice" Interpol sejak sekitar satu bulan setelah Juni 2009. Tepatnya, kata dia, setelah putusan Peninjauan Kembali (PK) Nomor 12 yang menyatakan ia bersalah dan divonis 2 tahun penjara dalam kasus Bank Bali terbit.
Djoko mengaku ingin mengajukan PK. Namun, berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung tahun 2015, terpidana harus datang langsung untuk mendaftarkan PK dan tidak bisa diwakili oleh ahli waris.
"Jadi jalan satu-satu adalah nama saya harus bersih, dengan demikian saya masuk usahanya lewat teman saya namanya Tommy Sumardi," katanya.