TEMPO.CO, Jakarta - Berawal dari keresahan karena tak ada ruang berdiskusi isu toleransi di Pontianak, Kalimantan Barat, Isa Oktaviani memutuskan membentuk Satu dalam Perbedaan (Sadap) Indonesia. “Komunitas anak muda ini sebagai wadah perjumpaan lintas agama untuk saling menghilangkan stigma,” kata Isa pertengahan September 2020.
Isa menuturkan keresahan akan minimnya ruang diskusi isu keberagaman ini bermula ketika ia mengunjungi Sinagog, rumah ibadah umat Yahudi, di Manado pada 2015. Perjumpaan dengan umat Yahudi ini membekas. Isa mengatakan rupanya selama ini persepsi mengenai Yahudi yang ia tahu salah kaprah.
Keputusan untuk membuat sebuah wadah semakin kuat ketika Isa mengikuti Youth Camp Yifos Indonesia 2017. “Orang-orang sering berprasangka lebih dulu. Padahal, menurut ajaran agama manapun, menduga hal-hal baik adalah yang dianjurkan,” kata Isa.
Keresahan Isa bukan tak beralasan. Konflik rasial di Kalimantan Barat sudah terjadi lama sekali. Guru Besar Sosiologi Universitas Tanjungpura Pontianak, Syarif Ibrahim Alqadrie, mencatat ada beberapa insiden kerusuhan rasial di Kalimantan Barat. Yaitu pada 1900-an, 1930-an, 1960-an dan 1990-an. Selain itu, pada 1967, tidak sedikit warga Tionghoa yang menjadi korban. Di 1997 dan 1999, warga Madura juga mengalaminya.
Ibrahim mengatakan konflik ini bisa saja berulang kembali. Oleh karena itu penting untuk membangun karakter multikultural, saling menghargai dan menghormati perbedaan. “Hindari fitnah dan permusuhan,” kata Direktur Indonesia Conflict and Peace Study Network (ICPSN) ini.
Makan saprahan, tradisi makan bersama Melayu yang dilakukan oleh peserta Temu Pemuda Lintas Iman. Makan bersama (Sadap Indonesia)
Di Kalimantan Barat, konflik etnik paling besar yang pernah terjadi adalah antara suku Dayak, Melayu dan Madura. Sapariah Saturi, jurnalis asal Madura yang lahir dan tumbuh di Pontianak ini adalah saksi hidup konflik tersebut. Ia kini aktif sebagai editor di Mongabay Indonesia.
Menurut Ari, begitu ia akrab disapa, sudah bukan rahasia lagi jika isu etnisitas di Kalimantan Barat menjadi bahasan yang seksi untuk kepentingan politik. Apalagi saat isunya berubah menjadi isu agama. “Stereotip yang dibangun terhadap suku-suku tertentu juga jadi pelabelan yang diwariskan. Masalah perorangan merembet jadi masalah komunitas,” kata perempuan 44 tahun ini.