TEMPO.CO, Jakarta - Polemik terkait Rancangan Undang-Undang atau RUU Cipta Kerja terus berlangsung. Meski menuai protes, parlemen terus melakukan pembahasan dari RUU usulan pemerintah ini.
Terakhir, Badan Legislasi atau Baleg DPR RI menyatakan pembahasan 118 Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) Bab III mengenai perizinan berusaha sudah tuntas. "Dengan demikian, selesailah pembahasan kami pada hari ini, 118 DIM," kata Ketua Baleg Supratman Andi Agtas pada Rabu, 19 Agustus 2020.
Tempo merangkum perjalanan RUU Cipta Kerja atau omnibus law beserta polemik yang menyertainya.
12 Februari 2020
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyerahkan surat presiden (surpres) dan draf RUU Cipta Kerja ke Ketua DPR Puan Maharani. RUU yang diserahkan ini mencakup 15 bab dan 174 pasal.
16 Februari 2020
Empat hari setelah diserahkan ke DPR, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) langsung menggelar jumpa pers menolak Omnibus Law. “Gak ada otaknya itu pemerintah dan pengusaha. Kamu boleh kutip itu,” kata Presiden KSPI Said Iqbal, Minggu, 16 Februari 2020.
Ada sembilan alasan penolakan. Di antaranya seperti hilangnya aturan upah minimum, hilangnya pesangon, hingga praktik outsourcing atau alih daya yang dibebaskan untuk semua jenis pekerjaan tanpa batasan waktu.
28 Februari 2020
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj menerima kunjungan sejumlah serikat buruh. Said pun memastikan dukungannya terhadap perjuangan kaum buruh dalam Omnibus Law ini.
"Versi pemerintah RUU ini untuk menciptakan pekerjaan seluas-luasnya, tetapi kok malah berpotensi merugikan buruh. Undang-undang itu harus melindungi warga negara. Setiap ada yang merugikan rakyat, saya pastikan akan bela," kata Said.
24 April 2020
Kalangan buruh terus menyuarakan penolakan terhadap RUU Cipta Kerja. Hingga pada 24 April 2020, Presiden Joko Widodo atau Jokowi memutuskan untuk menunda pembahasan Omnibus Law khusus klaster Ketenagakerjaan.
"Kemarin Pemerintah telah menyampaikan kepada DPR dan saya juga mendengar Ketua DPR sudah menyampaikan kepada masyarakat bahwa klaster Ketenagakerjaan dalam RUU Cipta Kerja pembahasannya ditunda, sesuai dengan keinginan pemerintah," tutur Jokowi.
11 Juni 2020
Tak hanya buruh, Dewan Pers dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) juga kompak mendesak dikeluarkannya pasal mengenai pers dari Omnibus Law. "Usulan kami menghapus semua yang berkenaan dengan pengaturan sektor pers," kata anggota Dewan Pers Agung Dharmajaya, Kamis, 11 Juni 2020.
Salah satunya karena pasal 18 tentang sanksi bagi orang serta perusahaan pers yang melanggar. Perubahan pasal 18, khususnya ayat (3) dan (4) paling disorot lantaran dianggap membuka ruang intervensi pemerintah terhadap kebebasan dan kemandirian pers.
11 Juli 2020
Sebulan berselang, pemerintah akhirnya resmi menghapus pasal mengenai pers yang tertuang dalam Omnibus Law. "Bahwa pengaturan mengenai pers dikembalikan ke UU eksisting (UU Pers)," ujar Anggota Badan Legislasi DPR Achmad Baidowi saat dikonfirmasi Tempo, Sabtu, 11 Juli 2020.
15 Juli 2020
Pimpinan Pusat Muhammadiyah menyerahkan surat dan kajian akademik terkait Omnibus Law kepada pimpinan DPR. Ketua Bidang Hukum dan HAM PP Muhammadiyah Busyro Muqoddas mengatakan kajian ini sebagai bentuk tanggung jawab Muhammadiyah terkait komitmen keagamaan dan kebangsaan.
"Simpulan besar, fundamental substansialnya ialah bahwa filosofi dari RUU tersebut rapuh sekali. Bertentangan dengan moralitas konstitusi 1945," kata Busyro dikutip dari keterangan video, Rabu, 15 Juli 2020.
28 Juli 2020
Giliran Serikat Pekerja di tubuh PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN yang meminta DPR menghentikan pembahasan RUU ini. Sejumlah pimpinan serikat pekerja ikut dalam pernyataan sikap ini di antaranya, yaitu Ketua Umum Serikat Pekerja PLN Muhammad Abrar Ali. "Ya, SP PLN ikut (dalam pernyataan sikap)," kata Ali kepada Tempo pada Selasa, 28 Juli 2020.
Selain itu ada Ketua Umum Persatuan Pegawai PT Indonesia Power, PS Kuncoro. Ketua Umum Serikat Pekerja PT Pembangkit Jawa Bali (PJB), Agus Wibawa. Indonesia Power dan PJB tak lain adalah anak usaha dari PLN. Kepada Tempo, salah satu pimpinan serikat pekerja yaitu PS Kuncoro membenarkan pernyataan sikap ini.