TEMPO.CO, Jakarta - Jaksa Kejaksaan Agung Budit Triono meminta terdakwa kasus korupsi cessie atau hak tagih Bank Bali, Joko Tjandra harus hadir di sidang Peninjauan Kembali yang diajukannya. Jaksa menyebut kewajiban terdakwa untuk hadir diatur dalam Pasal 263 dan 265 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
"Maka tadi saya minta dengan tegas kepada majelis hakim untuk terpidana harus hadir, tanpa melalui sidang video conference," kata Budit di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin, 29 Juni 2020.
Joko merupakan terdakwa kasus pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali senilai Rp 904 miliar yang ditangani Kejaksaan Agung. Pada 29 September 1999 hingga Agustus 2000, Kejaksaan pernah menahan Joko. Tapi hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutuskan ia bebas dari tuntutan karena perbuatan itu bukan perbuatan pidana melainkan perdata.
Pada Oktober 2008, Kejaksaan mengajukan peninjauan kembali (PK) terhadap kasus Joko ke Mahkamah Agung. Pada 11 Juni 2009, Majelis Peninjauan Kembali MA menerima PK yang diajukan jaksa. Majelis hakim memvonis Joko 2 tahun penjara dan harus membayar Rp 15 juta. Uang milik Joko di Bank Bali sebesar Rp 546,166 miliar dirampas untuk negara. Imigrasi juga mencekal Joko.
Joko kabur dari Indonesia ke Port Moresby, Papua Nugini pada 10 Juni 2009, sehari sebelum MA mengeluarkan putusan perkaranya. Kejaksaan menetapkan Joko sebagai buronan. Joko diketahui juga mengajukan PK. Sidang perdananya digelar di PN Jakarta Selatan hari ini.
Namun, menurut Budit, karena Joko tidak hadir langsung ke sidang, majelis hakim mengundurkan jadwal sidang pada 6 Juli 2020. Budit mengatakan Joko tak hadir dengan alasan sedang dirawat di rumah sakit di Kuala Lumpur "Sakitnya apa, kami tidak tahu," kata dia.
Pengacara Joko, Andi Putra Kusuma mengatakan tak tahu keberadaan kliennya. Ia juga mengatakan tak tahu sakit yang diderita oleh Joko. Meski begitu, ia akan berupaya menghadirkan kliennya pekan depan. "Kami upayakan," kata dia.
Mengenai materi gugatan, Andi mengatakan mempersoalkan Kejaksaan Agung yang mengajukan PK. Dia menganggap upaya jaksa mengajukan PK melanggar Pasal 261 KUHAP. "Tidak ada dasar hukumnya jaksa melakukan PK, haknya itu ada pada terpidana dan ahli warisnya," kata Andi.