TEMPO.CO, Medan - Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat menilai Rancangan Undang-Undang atau RUU Ketahanan Keluarga melegitimasi posisi perempuan sebagai “orang belakang” atau tiyang wingking. Menurut dia, ketahanan keluarga semestinya tidak direpresentasikan secara tendensius sehingga mengabaikan hak asasi manusia (HAM).
“RUU Ketahanan Keluarga semestinya tidak tendensius. RUU ini mengabaikan HAM sekaligus melegitimasi posisi perempuan sebagai tiyang wingking,” kata politikus Partai NasDem itu berdasarkan keterangan tertulis yang diterima di Medan, Kamis, 20 Februari 2020.
Rerie, sapaan akrab Lestari, menambahkan bahwa perempuan bukan objek yang harus selalu diatur dan mengurus pekerjaan rumah. “Di hadapan hukum semua setara, tidak peduli laki-laki atau perempuan," kata Rerie.
Menurut Rerie, entitas keluarga tidak perlu diintervensi negara. Urusan internal keluarga, pola asuh anak, hingga peran anggota keluarga bukanlah wewenang pemerintah.
Hubungan keluarga, kata dia, sarat dengan kearifan masing-masing budaya yang tidak dapat digeneralisasikan sehingga kurang tepat jika diatur dengan undang-undang.
Contoh lain, dalam RUU itu pemerintah telah campur tangan dalam urusan internal keluarga. Misalnya, dalam Pasal 77 Ayat (1) menyatakan, "Pemerintah pusat dan pemerintah daerah memfasilitasi keluarga yang mengalami krisis keluarga karena tuntutan pekerjaan."
Ia menyebutkan ada banyak persoalan bangsa dan negara yang lebih mendesak untuk diatur. Sedangkan, persoalan privat tidak perlu diatur oleh Negara. RUU Ketahanan Keluarga merupakan usulan dari anggota DPR pada periode 2014-2019 dan masuk dalam Prolegnas 2020.
Menurut Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad, saat ini RUU Ketahanan Keluarga baru akan disinkronisasikan dan semua pihak harus bersama-sama mencermati. Fraksi-fraksi di DPR RI membuat daftar inventarisasi masalah (DIM). "Tentunya UU Ketahanan Keluarga itu adalah usulan perseorangan, bukan usulan dari fraksi, yang nantinya akan kita sama-sama cermati."