TEMPO.CO, Jakarta-Peneliti Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Rivanlee Anandar menilai penetapan kasus Paniai, Papua, sebagai pelanggaran HAM berat oleh Komnas HAM merupakan langkah tepat. KontraS sepakat kasus Paniai telah memenuhi unsur kejahatan terhadap kemanusiaan.
“Penetapan kasus Paniai sebagai pelanggaran HAM berat oleh Komnas HAM adalah langkah yang tepat untuk mengungkap kasus,” kata Rivanlee saat dihubungi, Ahad 16 Februari 2020.
KontraS, kata dia, sejak awal menilai bahwa peristiwa Paniai telah memenuhi unsur kejahatan terhadap kemanusiaan berupa pembunuhan serta penganiayaan secara terencana. Meninggalnya warga sipil tersebut, kata dia, tidak lepas dari adanya unsur pertanggung jawaban komando aparat negara pada saat peristiwa terjadi.
Menurut dia setelah 6 tahun publik menunggu status Paniai yang sedikitnya mengakibatkan empat orang tewas dan 21 orang terluka. Maka, penetapan status sebagai pelanggaran HAM berat adalah langkah yang baik untuk menyelesaikan kasus secara adil. “Penetapan ini menjadi preseden baik bagi kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM lain yang terjadi di Papua sampai saat ini,” ucapnya.
Rivanlee berpendapat Komnas HAM bisa melibatkan masyarakat sipil untuk mendesak Jaksa Agung melakukan penyidikan. Lebih luas lagi, penetapan status ini bisa dimaknai sebagai awal untuk mencegah tindakan pelanggaran HAM dan kekerasan aparat keamanan di Papua terhadap masyarakat sipil di masa mendatang.
“Pemerintah harus segera melakukan dialog yang kontrusktif dengan masyarakat Papua, dan menghentikan pendekatan penyelesaian konflik di Papua dengan pendekatan keamanan dan militeristik,” kata dia.
Komnas HAM menetapkan peristiwa Paniai pada 7-8 Desember 2014 sebagai pelanggaran HAM berat. Militer dan kepolisian diduga sebahai pelaku yang bertanggung jawab.
“Setelah melakukan pembahasan mendalam di sidang paripurna peristiwa Paniai pada 7–8 desember 2014, secara aklamasi kami putuskan sebagai peristiwa pelanggran berat HAM,” kata Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik dalam keterangan tertulis, Sabtu 15 Februari 2020.
FIKRI ARIGI