TEMPO.CO, Jakarta - Pusat Studi Hukum dan Kebijakan atau PSHK menilai akhir periode pertama Presiden Joko Widodo atau Jokowi menunjukkan pelaksanaan penegakan hukum yang tak optimal dan tak tepat sasaran.
"Dalam sejumlah kasus, penegakan hukum terkesan menjadi alat politik kekuasaan jangka pendek," kata Direktur Advokasi dan Jaringan PSHK, Fajri Nursyamsi saat merilis catatan akhir tahun di kantornya, Jakarta, Kamis, 19 Desember 2019.
Fajri menuturkan, hal itu di antaranya terlihat dalam penggunaan pasal makar terhadap anggota masyarakat yang berbeda sikap dengan pemerintah. Di sisi lain, masih ada sejumlah perkara lama yang menjadi utang untuk dituntaskan .
Perkara-perkara lama itu, kata Fajri, malah dihadapkan dengan ketidakpastian. Beberapa tunggakan kasus tersebut di antaranya pembunuhan aktivis HAM Munir Said Thalib, penyiraman air keras terhadap penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi Novel Baswedan, hingga berbagai kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.
Fajri mengatakan, penggunaan aparat hukum untuk membendung kebebasan berpendapat juga terjadi dalam sejumlah peristiwa di tahun 2019. Pada Maret 2019, dosen Universitas Negeri Jakarta Robertus Robet ditangkap oleh kepolisian karena menyanyikan lagu yang dianggap menyinggung institusi Tentara Nasional Indonesia dalam orasinya di Aksi Kamisan.
Gejala pembungkaman kebebasan berpendapat, lanjut Fajri, juga kembali terlihat ketika Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (ketika itu) Wiranto membentuk Tim Asistensi Hukum pada Mei 2019. Tim itu ditugasi meneliti ucapan, tindakan, dan pemikiran tokoh-tokoh tertentu yang dianggap melanggar hukum.
Fajri menyebut keberadaan tim itu bukan saja tidak memiliki pertimbangan hukum kuat. Namun, keberadaannya juga menimbulkan ketidakpastian hukum, melanggar prinsip persamaan di hadapan hukum, dan bertentangan dengan prinsip kebebasan pers.
PSHK pun memproyeksi kemerdekaan dan kebebasan sipil masih akan menjadi tantangan pemerintahan Jokowi di tahun 2020. Menurut Fajri, ancaman terhadap demokrasi dan kebebasan sipil malah semakin nyata.
Salah satu contohnya terlihat dalam cara pemerintah menangani radikalisme. PSHK menilai, hampir semua kebijakan diarahkan pada misi mencegah dan memberantas radikalisme. Baik kebijakan yang menyangkut tatanan masyarakat, hubungan antarindividu, serta hubungan individu dan negara.
Sebelas kementerian dan lembaga bahkan telah menerbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang penanganan radikalisme di lingkungan aparatur sipil negara (ASN). Padahal menurut PSHK, pemerintah saat ini belum memiliki definisi yang konkret ihwal apa itu radikalisme.
"Selain tidak memiliki dasar hukum yang kuat, SKB itu dikhawatirkan dapat digunakan oleh pihak-pihak tertentu untuk membungkam ASN yang kritis terhadap pemerintah," kata Fajri.