TEMPO.CO, Jakarta - Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mengkritik revisi Undang-Undang Pemasyarakatan atau revisi UU PAS yang dinilai tak solutif dan menimbulkan masalah baru.
“Dapat menimbulkan kecurigaan, seperti master mind korupsi dipermudah oleh pemerintah untuk mendapat segala hak-hak napi (termasuk remisi dan pembebasan bersyarat),” kata Ketua Badan Pengurus ICJR Anggara Suwahyu pada saat dihubungi Tempo hari ini, Rabu, 18 September 2019.
Revisi UU PAS membatalkan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 lalu mengembalikan pada pelaksanaan PP Nomor 32 Tahun 1999. Perubahan itu mempermudah syarat remisi dan pembebasan bersyarat bagi koruptor dan pelaku kejahatan luar biasa lainnya.
DPR dan Pemerintah meloloskan revisi UU PAS dan segera akan disahkan di Rapat Paripurna. Salah satu dampaknya yakni mempermudah pemberian remisi dan pembebasan bersyarat bagi narapidana kejahatan luar biasa.
Anggara menyatakan sepakat dengan ide bahwa harus ada akses yang sama bagi semua narapidana. Tapi dalam kejahatan luar biasa yang notabene terorganisir perlu dibedakan perlakuan terhadap pelaku sesuai perannya.
“Bagaimana cara kita membatasi hak tersebut. Supaya orang yang terkena lebih precise, master mind harus lebih berat hukumannya dari yang perannya kecil,” tuturnya.
Menurut dia, pengadilan tak bisa membatasi hak terdakwa karena tak ada undang-undang yang bisa dijadikan landasan bagi jaksa untuk menuntut hakim mencabut hak remisi dan pembebasan bersyarat.
“Jaksa enggak punya power untuk menuntut pencabutan seperti itu."
Adapun Wakil Ketua Komisi Hukum DPR dari Fraksi Partai Demokrat Erma Suryani Ranik mengungkapkan berdasarkan aturan baru hasil revisi UU PAS nanti, remisi dan pembebasan bersyarat berdasarkan putusan hakim dan kebijakan Kemenkumham.
“Sepanjang (hak remisi dan pembebasan bersyarat) tidak dicabut oleh pengadilan, tetap bisa mendapat hak itu,” ucapnya setelah rapat final dengan pemerintah di Gedung DPR pada Selasa malam, 17 September 2019.
FIKRI ARGI